Kamis, 26 April 2012

Memaknai Idhul Fitri


Memaknai Idul Fitri

Buletin Islam Al Ilmu Edisi No: 37/IX/IX/1432
            Pembaca rahimakumullah, pada edisi kali ini kami rangkumkan beberapa amalan yang dituntunkan untuk dilaksanakan pada Hari Raya Idul Fitri, semoga dapat membantu kita untuk menjalankan hari raya tersebut dengan penuh makna.
 Bertakbir
Memasuki tanggal 1 Syawwal (sejak terbenamnya matahari di akhir Ramadhan), disyariatkan untuk bertakbir sebagai bentuk syukur dan mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakbir mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Baqarah:185)
Dari ayat di atas, jumhur (mayoritas) ulama mengambil kesimpulan hukum atas disunnahkannya bertakbir bagi laki-laki dan wanita. Waktunya dimulai sejak masuk tanggal 1 Syawwal hingga khutbah id berakhir. Asy-Syaikh as-Sa’di menjelaskan, “Dan termasuk di dalamnya adalah bertakbir ketika melihat hilal syawwal  (pada malam hari raya) hingga khutbah id berakhir.” (Tafsir As-Sa’di, hal.86)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin juga menjelaskan makna ayat tersebut, “وَلِتُكَبِّرُوْا اللَّهَ yaitu hendaknya kalian mengagungkan Allah dengan hati dan lisan kalian, dan hal itu dapat diterapkan dengan bertakbir.”  (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin 16/269)
Demikian pula keterangan asy-Syaikh Ibnu Baz (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 13/20).
Disunnahkan mengeraskan suara ketika bertakbir bagi pria dan wanita, kecuali jika ada pria bukan mahram maka wanita melirihkan suaranya. Adapun lafazh takbirnya adalah sebagai berikut, “Allahu Akbar Allahu Akbar, Laailaaha illallahu Wallahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil Hamdu.” Atau, “Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Laailaaha illallahu Wallahu Akbar Allahu Akbar Walillahil Hamdu,” atau yang lainnya. (Lihat al-Irwa’ 3/125-126)
Takbir diucapkan secara invidu tanpa dipandu atau berjamaah. Dan tidak perlu menambahkan shalawat di sela-sela takbir, karena tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam atau para shahabatnya.
 Shalat dan Khutbah Id
Di pagi hari, saat matahari mulai menampakkan wajahnya, tampak umat islam beramai-ramai keluar menuju tanah lapang sambil bertakbir untuk menunaikan shalat Idul Fitri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan seluruh umatnya untuk menyaksikan hari raya tahunan ini. Sampai-sampai wanita yang sedang haid dan para gadis juga diperintahkan hadir. Hanya saja wanita haid tidak diperkenankan berkumpul di tempat shalat.
Ummu ‘Athiyah berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kami pada saat shalat id (Idul Fitri dan Idul Adha) agar mengajak turut serta para gadis (yang baru beranjak dewasa) dan wanita yang dipingit. Begitu pula wanita yang sedang haid. Namun beliau memerintahkan  wanita yang sedang haid untuk menjauhi tempat shalat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hukum Shalat Id
Ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat id. Sebagian mereka berpendapat bahwa hukumnya sunnah, sebagian besar ulama berpendapat fardhu kifayah, dan sebagian yang lain berpendapat fardhu ‘ain.
Namun, pendapat yang kami (penulis)pilih, hukumnya adalah fardhu ‘ain. Sehingga wajib bagi setiap muslim dan muslimah yang telah baligh untuk melaksanakannya. Barangsiapa yang tidak melaksanakannya tanpa udzur syar’i maka dia berdosa. (HR. al-Bukhari no.980 dan Muslim no.890)
 Tempat Shalat dan Hukum Seputarnya
Shalat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha disunnahkan untuk dilaksanakan di tempat terbuka atau di tanah lapang, bukan di masjid. Kecuali ketika situasi darurat seperti hujan atau selainnya. Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu  menuturkan, “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika Idul Fitri dan Idul Adha keluar menuju tanah lapang.” (HR. al-Bukhari no. 965 dan Muslim no. 889)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani menjelaskan, “Hadits tersebut (menunjukkan) bahwa disyariatkan untuk keluar menuju tanah lapang ketika Idul Fitri. Juga bahwa shalat Idul Fitri di masjid tidak dilakukan kecuali ketika darurat.” (Fathul Bari 2/449)
Beliau juga berkata, “Ibnul Munayyir berdalil dengan hadits tersebut atas disunnahkannya melaksanakan shalat hari raya di tanah lapang, dan bahwa hal itu lebih utama daripada shalat di masjid, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa melakukannya padahal masjid beliau memiliki keutamaan tersendiri.” (Fathul Bari 2/450)
Sebelum berangkat, disunnahkan makan beberapa butir kurma dengan bilangan ganjil, boleh juga dengan makanan lainnya. Anas bin Malik berkata, “Tidaklah Rasulullah keluar pada Idul Fitri hingga beliau makan beberapa butir kurma dengan bilangan ganjil.” (HR. al-Bukhari no. 953) Diceritakan pula oleh Sa’id bin Musayyib bahwa para shahabat dan tabi’in melakukannya. (Al-Muwaththa` 1/128)
Disukai mandi terlebih dahulu dan berangkat ke tempat shalat dalam keadaan telah bersuci, bersih, rapi, memakai pakaian terbaik dan wewangian. (Lihat Shahih al-Bukhari no.948 dan al-Mushannaf 2/181)
Disunnahkan berangkat menuju tempat shalat dengan berjalan kaki (jika memungkinkan), dan hendaknya berangkat dan pulang dari jalan yang berbeda. Jabir bin Abdillah menceritakan, “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam apabila pada hari raya beliau berangkat (ke tanah lapang) dan pulang dari jalan yang berbeda.” (HR. al-Bukhari no. 986)
Disunnahkan pergi ke tempat shalat sambil bertakbir dengan mengeraskan suara, tetapi tidak dilakukan secara berjamaah. Dalam shalat id tidak dituntunkan shalat sunnah sebelum atau setelahnya. Ibnu ‘Abbas berkata, “Bahwasanya Nabi n shalat ‘Idul Fitri dua rakaat, beliau tidak shalat sebelum atau sesudahnya.” (HR. al-Bukhari no. 964)
 Waktu Shalat
Shalat id waktunya adalah waktu shalat dhuha, yaitu ketika matahari naik setinggi satu busur panah kurang lebih lima belas menit sejak matahari terbit, dan berakhir dengan masuknya waktu zhuhur yaitu saat matahari bergeser dari tengah langit ke arah barat. (Lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/120)
 Adzan dan Iqamat
Dalam shalat id tidak ada tuntunan adzan, iqamat, atau pengumuman shalat lainnya seperti “hayya ‘alash shalah” atau “ash shalatu jami’ah.” Jabir bin Abdillah berkata, “Sesungguhnya saat shalat Idul Fitri tidak ada adzan sampai imam datang, juga tidak ada adzan setelah imam datang. Tidak ada iqamat, panggilan shalat, atau pengumuman apapun. Tidak ada adzan atau iqamat pada hari itu (pada masa Rasulullah, pen).” (Shahih Muslim)
Ibnu Baththal menjelaskan, “Bahwa dalam bimbingan as-Sunnah shalat dua hari raya adalah tanpa adzan dan iqamat.” (Syarhu Shahih al-Bukhari 2/556)
Ibnul Qayyim juga menjelaskan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam apabila telah sampai di tempat shalat id langsung memulai shalat tanpa adzan atau iqamat atau seruan ash shalatu jami’ah. Yang sunnah adalah tidak melakukan bentuk pengumuman apapun.” (Zadul Ma’ad 1/332)
 Tatacara Shalat Id
Shalat id berjumlah dua rakaat, dilaksanakan secara berjamaah bersama kaum muslimin. Pada rakaat pertama bertakbir sebanyak 7 kali setelah takbiratul ihram kemudian membaca bacaan dalam shalat, dan pada rakaat kedua bertakbir 5 kali setelah takbir bangkit dari sujud. Takbir boleh dilakukan dengan mengangkat tangan ataupun tidak. (Lihat Sunan Abu Dawud no. 1149 dari ‘Aisyah d, lihat juga Shahih al-Bukhari no. 189 dari Ibnu Umar secara mu’allaq)
Disunnahkan pada shalat id untuk membaca surat Al-A’la pada rakaat pertama  dan pada rakaat kedua membaca surat Al-Ghasyiyah. Atau membaca surat Qaf pada rakaat pertama dan pada rakaat kedua membaca surat Al-Qamar, dan dibaca dengan suara nyaring. (HR. Muslim no. 1122 dan no. 8910)
Bagi yang tertinggal takbir, maka dia memulai shalatnya dengan takbiratul ihram dan untuk seterusnya mengikuti gerakan imam. Takbir yang terluput tidak perlu diganti. (Al-Mughni 3/275)
Bagi yang tertinggal shalat id dengan berjamaah sementara waktunya belum habis,  maka hendaknya mengerjakan shalat id walaupun sendirian dengan tatacara yang telah dijelaskan di atas. (Fathul Bari 2/550)
Adapun bagi yang belum melakukannya setelah waktunya habis (karena ia tidak tahu bahwa hari itu adalah hari id), maka bisa diganti di hari setelahnya pada waktu yang sama. (Asy-Syarhul Mumti’ 5/121)
 Khutbah Setelah Shalat
Selesai shalat, imam langsung berdiri dan berkhutbah dihadapan seluruh makmum, demikianlah bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan al-Khulafa`ur Rasyidin. (Lihat Shahih al-Bukhari no. 956)
Barangsiapa mengedepankan khutbah sebelum shalat berarti telah menyalahi bimbingan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para khalifahnya.
 Khutbah tanpa Mimbar
Berkhutbah id di atas mimbar juga tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para khalifah setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Disebutkan bahwa orang pertama yang memulainya adalah Umar bin al-Khaththab dan Utsman bin ‘Affan, tetapi itu semua tidak benar. (Lihat HR. Muslim no. 882)
 Takbir ketika Khutbah
Demikian pula tidak ada keterangan yang shahih bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bertakbir tujuh kali di awal khutbah dan lima kali di sela-sela khutbahnya. Hadits yang menceritakan hal tersebut adalah dha’if/lemah. (Lihat Mishbahuz Zujajah fi Zawaidi Ibni Majah 1/152)
 Khutbah Hanya Sekali
Jika kita menilik hadits-hadits shahih tentang khutbah id Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, akan didapati bahwa khutbah beliau hanya sekali tanpa diselingi duduk layaknya khutbah Jumat. Asy-Syaikh  al-’Utsaimin rahimahullah berkata, “Barangsiapa memperhatikan hadits-hadits yang diakui keabsahannya di dalam Ash-Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) juga selain keduanya, maka tampaklah baginya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak pernah berkhutbah melainkan hanya sekali khutbah.” (Asy-Syarhul Mumti’ 5/146)
Saling Mendoakan
Di Hari Raya Idul Fitri disukai  untuk saling mengucapkan do’a,
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
“Taqabbalallahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amal ibadahku dan ibadahmu)” sebagaimana dahulu para shahabat melakukannya. Hal itu dimaksudkan agar kebahagiaan kita di Hari Raya Idul Fitri tetap bermakna ibadah.
Idul Fitri Bertepatan dengan Hari Jumat
Apabila Idul Fitri atau Idul Adha jatuh bertepatan dengan hari Jumat maka kewajiban shalat Jumat  telah gugur bagi yang menghadiri shalat id. Cukup baginya shalat zhuhur saja. Tetapi bagi imam dan khatib tetap dituntunkan menghadirinya. Dalam hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Pada hari ini telah terkumpul dua hari raya, barangsiapa berkehendak, boleh untuk tidak menghadiri shalat Jumat, sedangkan kami akan melaksanakan shalat Jumat.”  (HR. Abu Dawud no. 1073 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Semoga uraian ringkas ini bermanfaat bagi kita semua.  Amin ya Rabbal ‘alamin.
Wallahu a’lamu bish shawab…
Penulis: Ustadz Abdurrahman Rauf
Filed in: Khusus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar