Kamis, 26 April 2012

Kedudukan As-Sunnah Terhadap Alquran


Kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur`an

Pembaca yang dirahmati Allah subhaanahu wa ta’aalaa, sering kita mendengar kata “As-Sunnah” (اَلسُّنَّةُ) diucapkan baik dalam ceramah-ceramah agama atau disebut dalam tulisan-tulisan di majalah atau buletin bernuansa Islam. Sering pula kita dapati kata As-Sunnah digandengkan dengan kata Al-Qur`an. Namun sebuah pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap kita sebagai seorang muslim, “Apakah kita telah memahami kata As-Sunnah dengan pemahaman yang benar?” Pemahaman yang dapat membantu kita untuk menerapkan makna As-Sunnah sesuai dengan yang diinginkan Allah subhaanahu wa ta’aalaa dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tentu hal itu akan terjawab dengan kita berusaha mengkaji ilmu agama yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Maka, pada tema kali ini kita mencoba membahas kata As-Sunnah dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Definisi As-Sunnah
Kata As-sunnah (اَلسُّنَّةٌ) adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata kerja (fi’il) سَنَّ – يَسُنُّ yang secara bahasa bermakna jalan atau cara, yang baik maupun yang buruk. Adapun secara istilah syar’i yaitu jalan atau cara yang telah ditempuh oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, mencakup yang wajib maupun yang mustahab. Mencakup pula urusan akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah. Al-Imam Ibnu ‘Allan rahimahullaahu berkata dalam kitab beliau Dalilul Falihin (2/418), ketika menjelaskan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (فعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ) hadits al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallaahu ‘anhu, “Yakni caraku (cara Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ed.) dan jalan hidupku yang lurus yang aku berada di atasnya dari segala apa yang telah aku rinci kepada kalian. Baik hukum-hukum yang berkaitan dengan akidah maupun amaliah yang wajib, mustahab dan selainnya.” (Lihat Dharuratul Ihtimam bis Sunan an-Nabawiyah hal. 20)
Dengan demikian, kata As-Sunnah jika disebutkan secara mutlak dengan konteks pujian maka yang dimaksud adalah makna secara syar’i yang umum mencakup hukum-hukum yang terkait dengan akidah dan amaliah baik yang wajib, mustahab, maupun mubah. Demikian pula jika disebutkan dalam sabda Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, perkataan para sahabat radhiyallahu ‘anhum atau tabi’in. (Lihat Dharuratul Ihtimam hal. 20). Dan bukanlah makna As-Sunnah dengan konteks di atas bermakna lawan dari wajib (apabila dikerjakan mendapat pahala, dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa) sebagaimana pengertian As-Sunnah menurut ahli fiqih.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaahu dalam Fathul Bari (10/341), “Telah tetap bahwa lafazh As-Sunnah yang ada di dalam hadits bukan bermakna lawan dari wajib.” Beliau juga berkata ketika menjelaskan hadits:
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فلَيْسَ مِنِّيْ
“Barang siapa yang membenci sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.” (Muttafaq ‘alaihi)
“Yang dimaksud dengan lafazh Sunnah di sini adalah jalan atau cara, bukan lawan dari wajib.” (Lihat Fathul Bari 9/105).
Oleh karena itu, wajib bagi kaum muslimin memahami ini dengan benar, karena di sana ada sebagian orang yang memaknakan kata As-Sunnah secara mutlak, yaitu lawan dari wajib. Jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggal tidak berdosa. Sehingga mereka bermudah-mudahan meninggalkan As-Sunnah yang mustahab dan bahkan yang wajib. Allahul musta’an.

Kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur`an
Setelah kita mengetahui definisi As-Sunnah yang benar, maka perlu kita ketahui bagaimana kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur`an.
Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah menjelaskan dalam banyak ayat-Nya yang mulia, demikian pula Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskan tentang kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur`an. Di antaranya:
  1. As-Sunnah sebagai penjelas dan perinci Al-Qur`an
Hal ini sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa (yang artinya):
“Dan telah kami turunkan adz-Dzikr (Al-Qur`an) kepadamu agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang kami turunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)
Di dalam ayat ini Allah subhaanahu wa ta’aalaa menjelaskan bahwa As-Sunnah adalah penjelas dan pemerinci Al-Qur`an. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ إِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَ مِثلَهُ مَعَهُ
“Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan bersama itu yang semisalnya (As-Sunnah).” (HR. Abu Dawud dan yang selain beliau dari sahabat al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallaahu ‘anhu, dishahihkan Ibnu Hibban, al-Hakim dan asy-Syaikh al-Albani rahimahumullaahu)
Al-Imam Ahmad rahimahullaahu berkata, “As-Sunnah adalah tafsir (penjelas, ed.) Al-Qur`an.” (Ushulus Sunnah lil Imam Ahmad hal. 16)
2. As-Sunnah adalah wahyu Allah subhaanahu wa ta’aalaa sebagaimana Al-Qur`an
Hanya saja Al-Qur`an adalah mukjizat dan membacanya telah termasuk ibadah, berbeda dengan As-Sunnah. Akan tetapi keduanya memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman (yang artinya):
“Dan tidaklah dia (Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ed.) berkata dari hawa nafsunya semata, melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (An-Najm: 3-4)
Seorang muslim tidak mungkin mencukupkan dirinya dengan Al-Qur`an saja, bahkan ia tidak bisa beramal dan beribadah dengan benar tanpa As-Sunnah. Karena As-Sunnah adalah penjelas atau pemerinci Al-Qur`an. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengerjakan shalat lima waktu dengan benar kalau ia tidak merujuk kepada As-Sunnah?! Karena hanya dalam As-Sunnah terdapat penjelasan dan rincian tentang tatacara shalat-shalat tersebut, baik dengan ucapan maupun amaliah atau praktik dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari sini kita memahami betapa mendesaknya kebutuhan kita kepada As-Sunnah, sampai-sampai al-Imam Makhul asy-Syami rahimahullaahu berkata, “Al-Qur`an lebih butuh kepada As-Sunnah daripada butuhnya As-Sunnah kepada Al-Qur`an.” (Al-Ibanah 1/253)
Ucapan beliau ini tidaklah bermakna bahwa As-Sunnah lebih tinggi kedudukannya daripada Al-Qur`an atau lebih mulia dari Al-Qur`an, akan tetapi makna ucapan beliau adalah, “Seorang muslim sangatlah butuh kepada As-Sunnah dalam mengamalkan Al-Qur`an.” Hal ini benar, karena mayoritas ahkam (hukum-hukum) dalam Al-Qur`an bersifat global sehingga sangat butuh penjabaran dan rincian dari As-Sunnah.
Selain As-Sunnah adalah wahyu Allah subhaanahu wa ta’aalaa yang kedudukannya sama dengan Al-Qur`an (datangnya dari Allah subhaanahu wa ta’aalaa) juga termasuk dari dua hal yang diwariskan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ، لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
“Aku telah meninggalkan kepada kalian dua hal, jika kalian berpegang dengan keduanya pasti tidak akan tersesat, yaitu kitabullah (Al-Qur`an) dan sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik dan al-Hakim)
Maka wajib bagi seorang muslim yang benar imannya dan mendambakan kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat hendaklah menjadikan Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup. Serta senantiasa berpijak kepada keduanya dalam beramal.

Bahaya Menyelisihi As-Sunnah
Sungguh Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah memberikan peringatan atau ancaman keras bagi mereka yang meninggalkan As-Sunnah dengan sengaja. Di antaranya ialah firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa (yang artinya):
“Maka berhati-hatilah orang yang menyelisihi perintah Rasul (sunnahnya) untuk ditimpa fitnah atau adzab yang pedih.” (An-Nur: 63)
“Wahai orang-orang yang beriman ja-nganlah kalian mengangkat suara kalian dari suara Nabi, dan janganlah berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya suara sebagian kalian terhadap sebagian lainnya, supaya tidak terhapus amalan kalian sementara kalian tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 2)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullaahu berkata ketika menjelaskan ayat di atas, “Dalam ayat ini Allah subhaanahu wa ta’aalaa memperingatkan kaum muslimin dari terhapusnya amalan-amalan mereka disebabkan mengeraskan suara kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sebagian mereka mengeraskan suara kepada sebagian yang lain.” (Al-Wabilush Shoyyib 1/11, Ta’zhimus Sunnah hal. 22)
Pembaca yang dirahmati Allah subhaanahu wa ta’aalaa, kalaulah hanya sekedar mengeraskan suara kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka akan terhapus amalannya, maka bagaimana dengan meremehkan As-Sunnah beliau atau menentangnya? Tentu amatlah keras siksanya. Dan, perlu diingat bahwa orang yang meremehkan As-Sunnah serta meninggalkannya dengan sengaja karena sombong akan disegerakan adzabnya oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa di dunia sebelum di akhirat. Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullaahu dari sahabat Salamah bin al-Akwa` radhiyallaahu ‘anhu bahwa ada seseorang makan di dekat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya, maka Rasulullah menegurnya, “Makanlah dengan tangan kananmu,” namun ia menjawab (dengan kesombongan), “Aku tidak bisa.” Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kamu tidak akan bisa selamanya,” maka pada saat itu juga lelaki itu tidak bisa mengangkat kedua tangannya ke mulutnya. Hadits ini dan ayat sebelumnya, teguran keras bagi siapa saja yang meninggalkan As-Sunnah. Dan, seharusnya bagi kita untuk bersungguh-sungguh dalam mengamalkan As-Sunnah. Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu berkata (yang artinya):
“Tidaklah aku meninggalkan sesuatu yang diamalkan Rasulullah kecuali aku mengamalkannya, dan sungguh aku sangat khawatir (takut) jika aku meninggalkan sesuatu dari sunnahnya akan tersesat.” (Lihat Ta’zhimus Sunnah hal. 24)
Wallaahu a’lam.
Penulis: Al-Ustadz Abu Habib hafizhahullaahu

Mengenal Rosululloh


Mengenal Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam

Buletin Islam Al Ilmu Edisi No: 39/XI/IX/1432
Para pembaca semoga Allah subhaanahu wa ta’aalaa merahmati kita semua, ketahuilah bahwa cinta kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah sebuah kewajiban bagi setiap pribadi muslim. Seseorang bisa dipertanyakan akan keislamannya, ketika tidak memiliki kecintaan kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman:
”Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri” (Al-Ahzab: 6)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak beriman salah seorang dari kalian hingga menjadikan aku orang yang paling dicintainya, melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya dan manusia seluruhnya.” HR al-Bukhari no. 15 & Muslim no. 44
Kecintaan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu tidak akan terwujud kecuali dengan mengenal beliau secara lebih mendalam. Sehingga wajib bagi kita untuk mengenali beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan perjalanan hidup beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Mengenal Pribadi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Beliau adalah Abul Qasim Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib (nama aslinya Syaibah) bin Hasyim (nama aslinya ‘Amr) bin ‘Abdu Manaf (nama aslinya al-Mughirah) bin Qushay (nama aslinya Zaid) bin Kilab (nama aslinya Hakim/’Urwah)  bin Murrah bin Ka’ab bin Lu`ay bin Ghalib bin Fihr (dialah yang dijuluki dengan Quraisy) bin Malik bin an Nadhr (nama aslinya Qais, jumhur ahli nasab mengatakan dialah Quraisy) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (nama aslinya ‘Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin ’Adnan. (As-Siyar 26/29-32, al-Bidayah 2/657, Zadul Ma’ad hal.70, ar-Rahiqul Makhtum hal.48, Jawami’ as-Sirah hal.2)
‘Adnan termasuk anak cucu Nabi ‘Ismail bin ‘Ibrahim ‘alaihimas salaam menurut kesepakatan ulama (Fathul Bari 7/213, al-Bidayah 2/590, Zadul Ma’ad 1/70-71, as-Siyar 26/29, Mukhtashar Sirah hal.36)
Sedangkan ibu beliau adalah Aminah bintu Wahb bin ‘Abdu manaf bin Zuhrah bin Kilab (ar-Rahiqul Makhtum hal.52, Raudhatul Anwar).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lahir di pemukiman bani Hasyim di kota Mekah, di pagi Hari Senin tanggal  12 Rabi’ul Awwal di tahun gajah, atau bertepatan dengan tanggal 22 April 571 M. Selama 53 tahun beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tinggal di sana, 40 tahun sebelum kenabian & 13 tahun setelah kenabian, lalu hijrah ke Madinah menetap dan melanjutkan dakwah tauhid selama 10 tahun, hingga wafat pada waktu dhuha Hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 Hijriyah dalam usia 63 tahun atau 63 tahun 4 hari. (Al-Bidayah 2/662-664, 3/7 & 5/248-256, as-Siyar 26/33-37 & 27/471-476, ar-Rahiqul Makhtum  hal. 54-55 & 468-469, Zadul Ma’ad hal.74-75,469,  Raudhatul Anwar, Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah hal.99.)
Pribadi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dikenal dengan kejujuran, amanah, menjaga kehormatan dan dengan berbagai budi pekerti luhur lainnya, sejak sebelum beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi nabi dan rasul. Hingga beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendapat julukan al-Amin yang artinya bisa dipercaya. Adapun setelah Islam kemuliaan sifat atau pribadi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam semakin tinggi sebagaimana yang dikabarkan oleh Aisyah. Dari Sa’ad bin Hisyam bin ‘Amir, dia berkata, “Aku mendatangi Aisyah maka aku berkata, ”Wahai ummul mukminin kabarkanlah kepadaku tentang akhlak Rasulullah,” maka beliau berkata, ”Adalah akhlak beliau Al-Qur`an, tidakkah kau membaca Al-Qur`an?” (HR. Ahmad)

Rumah Tangga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memiliki 11 orang istri.Mereka inilah yang dijuluki Ummahatul Mukminin (ibu orang-orang yang beriman).Mereka adalah:
1. Khadijah bintu Khuwailid, dari beliau lah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memiliki keturunan (kecuali Ibrahim).
2. Aisyah bintu Abu Bakr, shiddiqah bintu shiddiq.
3. Saudah bintu Zam’ah al-Amiriyyah.
4. Hafshah bintu ‘Umar bin al-Khaththab.
5. Zainab bintu Khuzaimah al-Hilaliyyah Ummul Masakin.
6. Ummu Salamah Hindun bintu Abi Umayyah al-Makhzumiyyah.
7. Zainab bintu Jahsyin al-Asadiyyah.
8. Juwairiyyah bintu al-Harits al-Khuza’iyyah.
9.Ummu Habibah Ramlah bintu Abi Sufyan.
10.Shafiyyah bintu Huyay bin Akhthab.
11.Maimunah bintu al-Harits  al-Hilaliyyah.
Khadijah bintu Khuwailid dan Zainab bintu Khuzaimah keduanya meninggal semasa hidup Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Adapun yang lainnya wafat sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. (Al-Bidayah 5/305-313, Zadul Ma’ad hal.102-110, ar-Rahiqul Makhtum hal.473-474).

Putra-putri Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Al-Imam Ibnu Katsir menegaskan, “Tidak ada khilaf bahwa seluruh putra-putri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berasal dari Khadijah bintu Khuwailid, kecuali Ibrahim dari Mariyah bintu Syam’un al-Qibthiyyah” (Al-Bidayah 5/319).
Mereka adalah:
1. Al-Qasim (putra pertama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan dengannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-kun-yah (Abul Qasim). Dia wafat dalam usia 2 tahun.
2. Zainab, putri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang terbesar.
3. Ruqayyah, dinikahkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam  dengan shahabat Utsman bin Affan.
4. Ummu Kultsum, dinikahkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan shahabat Utsman bin Affan setelah wafatnya Ruqayyah (sehingga Utsman dijuluki Dzun Nurain, pemilik dua cahaya).
5. Fathimah, putri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang terkecil dan paling beliau cintai. Dia adalah pemimpin wanita penghuni surga (jannah), istri shahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib, ibunda dua pemimpin pemuda penghuni surga (jannah) al-Hasan dan al-Husain.
6. Abdullah, putra terakhir Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari Khadijah, meninggal ketika kecil.
7. Ibrahim, lahir di Madinah dari budak beliau Mariyah bintu Syam’un al-Qibthiyyah, meninggal ketika kecil.

Keutamaan-keutamaan Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
1. Sayyidun Naas (Pemimpin manusia) dan Sayyidul Mursalin (Pemimpin para Rasul), beliau n bersabda, “Saya pemimpin manusia pada hari kiamat.” HR. al-Bukhari no. 4712 & Muslim no. 194
2. Khataman Nabiyyin (Penutup para Nabi), Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi, dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab:40)
3. Pemberi syafaat pada hari kiamat dengan izin Allah subhaanahu wa ta’aalaa.
4. Manusia pertama yang mengetuk pintu  surga (jannah) sebagaimana dalam Shahih Muslim dari Anas bin Malik dan umatnya adalah umat yang pertama masuk ke surga (jannah), sebagaimana disebutkan di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah.
Masih banyak lagi keutamaan-keutamaan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lihat Syarh Lum’atul I’tiqad karya asy-Syaikh al-Utsaimin hal.79-81, Syarhu al-Aqidah al-Wasithiyyah karya asy-Syaikh Shalih al Fauzan hal.106-109, juga dalam as-Siyar karya al-Imam adz-Dzahabi 27/448-452.

Mengenali Risalah Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi nabi dalam usia 40 tahun dengan turunnya surat Al-Alaq: 1-5.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan diangkat menjadi rasul dengan turunnya surat Al-Muddatstsir: 1-7 dengan suatu misi memperingatkan manusia dari syirik dan menyeru kepada tauhid. (Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah 122-123)
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam  adalah penutup para nabi yang diutus oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa untuk seluruh manusia bahkan jin, berdakwah selama 23 tahun yang inti risalah beliau dan juga risalah para rasul ’alaihimus salaam  adalah tauhid. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman:
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu” An-Nahl: 36
Awal dakwah beliau adalah tauhid (sebagaimana kisah beliau di bukit Shafa) dan akhir dakwah beliau juga tauhid, bahkan wasiat terakhir beliau menjelang wafat adalah tentang tauhid. Dari Aisyah dan Ibnu ‘Abbas, Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda di akhir hayat beliau, “Laknat Allah atas yahudi dan nashara yang menjadikan kubur-kubur nabi mereka masjid (tempat beribadah-pen).” HR. al-Bukhari 1/118-119, Muslim 2/67. Untuk lebih rincinya silakan lihat Fiqhus Shirah hal 77-78, ar-Rahiqul Makhtum hal.78-79 & hal.468-469, as-Siyar 27/463-464.
Risalah Islam yang dibawa oleh Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah sempurna, tidak butuh penambahan ataupun pengurangan, beliau telah menunaikan amanah, telah menyampaikan risalah, telah menasehati umat, tidaklah ada sebuah kebaikan dan keburukan melainkan beliau telah memberi penjelasan dan memperingatkan umat darinya. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Al-Ma`idah: 3

Menunaikan Hak-hak Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Di antara hak-hak beliau ialah kita menaati setiap perintah-perintahnya, membenarkan dan meyakini berita-berita yang beliau kabarkan (dari peristiwa-peristiwa dahulu, pada saat ini atau dari peristiwa-peristiwa yang akan datang), menjauhi segala yang telah dilarang oleh beliau, dan tidaklah beribadah kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa kecuali dengan cara yang telah dituntunkan oleh beliau. (Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah hal.75)
Begitu pula memuliakan Ahlul Bait beliau dan termasuk di dalamnya istri-istri beliau, mereka adalah istri nabi di dunia dan di akhirat, Ummahatul Mukminin (ibunya orang-orang yang beriman), maka mencela dan melaknat mereka adalah kekufuran. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman, ”Dan istri-istrinya (Rasul) adalah ibu-ibu mereka (orang-orang beriman).”  (Al-Ahzab: 6)
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah memuliakan para shahabat beliau, tidak mencela mereka, ridha kepada mereka semua. Melalui mereka lah agama ini sampai kepada kita, mereka menjadi saksi ketika turunnya wahyu, murid Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara langsung. Berkeyakinan, berpemahaman, beribadah, beramal, dan bermuamalah di bawah kontrol kekasih mereka, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka mencela mereka, tidak ridha kepada mereka, mendustakan mereka adalah kefasikan dan kekufuran. Bahkan termasuk mendustakan Allah subhaanahu wa ta’aalaa dan Rasul-Nya yang memuji dan merekomendasi mereka. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman, ”Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Janganlah kalian mencela shahabatku, demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya jika seandainya ada di antara kalian yang berinfak emas sebesar gunung uhud maka tidak akan mampu menyamai (infak mereka) meski satu mud (cakupan tangan-pen) atau setengahnya” HR al Bukhari no.3673 & Muslim no.2540. Untuk lebih rincinya lihat Syarh Lumatul I’tiqad hal. 89-91 dan Fathu Rabbil Bariyyah hal.7.
Demikianlah saudara pembaca semoga Allah subhaanahu wa ta’aalaa merahmati kita semua, dari penjelasan di atas dapatlah kita ambil pelajaran, bahwa pribadi beliau adalah pribadi yang agung, mulia, terbaik dari segala sisinya. Mudah-mudahan dengan itu Allah subhaanahu wa ta’aalaa memberikan kemudahan bagi kita semua untuk semakin mencintai beliau dan memenuhi hak-hak beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Amin.
Wallahu a’lamu bish shawab.
Penulis: Ustadz Abu Umar Muhammad

Memaknai Idhul Fitri


Memaknai Idul Fitri

Buletin Islam Al Ilmu Edisi No: 37/IX/IX/1432
            Pembaca rahimakumullah, pada edisi kali ini kami rangkumkan beberapa amalan yang dituntunkan untuk dilaksanakan pada Hari Raya Idul Fitri, semoga dapat membantu kita untuk menjalankan hari raya tersebut dengan penuh makna.
 Bertakbir
Memasuki tanggal 1 Syawwal (sejak terbenamnya matahari di akhir Ramadhan), disyariatkan untuk bertakbir sebagai bentuk syukur dan mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakbir mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Baqarah:185)
Dari ayat di atas, jumhur (mayoritas) ulama mengambil kesimpulan hukum atas disunnahkannya bertakbir bagi laki-laki dan wanita. Waktunya dimulai sejak masuk tanggal 1 Syawwal hingga khutbah id berakhir. Asy-Syaikh as-Sa’di menjelaskan, “Dan termasuk di dalamnya adalah bertakbir ketika melihat hilal syawwal  (pada malam hari raya) hingga khutbah id berakhir.” (Tafsir As-Sa’di, hal.86)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin juga menjelaskan makna ayat tersebut, “وَلِتُكَبِّرُوْا اللَّهَ yaitu hendaknya kalian mengagungkan Allah dengan hati dan lisan kalian, dan hal itu dapat diterapkan dengan bertakbir.”  (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin 16/269)
Demikian pula keterangan asy-Syaikh Ibnu Baz (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 13/20).
Disunnahkan mengeraskan suara ketika bertakbir bagi pria dan wanita, kecuali jika ada pria bukan mahram maka wanita melirihkan suaranya. Adapun lafazh takbirnya adalah sebagai berikut, “Allahu Akbar Allahu Akbar, Laailaaha illallahu Wallahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil Hamdu.” Atau, “Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Laailaaha illallahu Wallahu Akbar Allahu Akbar Walillahil Hamdu,” atau yang lainnya. (Lihat al-Irwa’ 3/125-126)
Takbir diucapkan secara invidu tanpa dipandu atau berjamaah. Dan tidak perlu menambahkan shalawat di sela-sela takbir, karena tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam atau para shahabatnya.
 Shalat dan Khutbah Id
Di pagi hari, saat matahari mulai menampakkan wajahnya, tampak umat islam beramai-ramai keluar menuju tanah lapang sambil bertakbir untuk menunaikan shalat Idul Fitri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan seluruh umatnya untuk menyaksikan hari raya tahunan ini. Sampai-sampai wanita yang sedang haid dan para gadis juga diperintahkan hadir. Hanya saja wanita haid tidak diperkenankan berkumpul di tempat shalat.
Ummu ‘Athiyah berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kami pada saat shalat id (Idul Fitri dan Idul Adha) agar mengajak turut serta para gadis (yang baru beranjak dewasa) dan wanita yang dipingit. Begitu pula wanita yang sedang haid. Namun beliau memerintahkan  wanita yang sedang haid untuk menjauhi tempat shalat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hukum Shalat Id
Ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat id. Sebagian mereka berpendapat bahwa hukumnya sunnah, sebagian besar ulama berpendapat fardhu kifayah, dan sebagian yang lain berpendapat fardhu ‘ain.
Namun, pendapat yang kami (penulis)pilih, hukumnya adalah fardhu ‘ain. Sehingga wajib bagi setiap muslim dan muslimah yang telah baligh untuk melaksanakannya. Barangsiapa yang tidak melaksanakannya tanpa udzur syar’i maka dia berdosa. (HR. al-Bukhari no.980 dan Muslim no.890)
 Tempat Shalat dan Hukum Seputarnya
Shalat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha disunnahkan untuk dilaksanakan di tempat terbuka atau di tanah lapang, bukan di masjid. Kecuali ketika situasi darurat seperti hujan atau selainnya. Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu  menuturkan, “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika Idul Fitri dan Idul Adha keluar menuju tanah lapang.” (HR. al-Bukhari no. 965 dan Muslim no. 889)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani menjelaskan, “Hadits tersebut (menunjukkan) bahwa disyariatkan untuk keluar menuju tanah lapang ketika Idul Fitri. Juga bahwa shalat Idul Fitri di masjid tidak dilakukan kecuali ketika darurat.” (Fathul Bari 2/449)
Beliau juga berkata, “Ibnul Munayyir berdalil dengan hadits tersebut atas disunnahkannya melaksanakan shalat hari raya di tanah lapang, dan bahwa hal itu lebih utama daripada shalat di masjid, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa melakukannya padahal masjid beliau memiliki keutamaan tersendiri.” (Fathul Bari 2/450)
Sebelum berangkat, disunnahkan makan beberapa butir kurma dengan bilangan ganjil, boleh juga dengan makanan lainnya. Anas bin Malik berkata, “Tidaklah Rasulullah keluar pada Idul Fitri hingga beliau makan beberapa butir kurma dengan bilangan ganjil.” (HR. al-Bukhari no. 953) Diceritakan pula oleh Sa’id bin Musayyib bahwa para shahabat dan tabi’in melakukannya. (Al-Muwaththa` 1/128)
Disukai mandi terlebih dahulu dan berangkat ke tempat shalat dalam keadaan telah bersuci, bersih, rapi, memakai pakaian terbaik dan wewangian. (Lihat Shahih al-Bukhari no.948 dan al-Mushannaf 2/181)
Disunnahkan berangkat menuju tempat shalat dengan berjalan kaki (jika memungkinkan), dan hendaknya berangkat dan pulang dari jalan yang berbeda. Jabir bin Abdillah menceritakan, “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam apabila pada hari raya beliau berangkat (ke tanah lapang) dan pulang dari jalan yang berbeda.” (HR. al-Bukhari no. 986)
Disunnahkan pergi ke tempat shalat sambil bertakbir dengan mengeraskan suara, tetapi tidak dilakukan secara berjamaah. Dalam shalat id tidak dituntunkan shalat sunnah sebelum atau setelahnya. Ibnu ‘Abbas berkata, “Bahwasanya Nabi n shalat ‘Idul Fitri dua rakaat, beliau tidak shalat sebelum atau sesudahnya.” (HR. al-Bukhari no. 964)
 Waktu Shalat
Shalat id waktunya adalah waktu shalat dhuha, yaitu ketika matahari naik setinggi satu busur panah kurang lebih lima belas menit sejak matahari terbit, dan berakhir dengan masuknya waktu zhuhur yaitu saat matahari bergeser dari tengah langit ke arah barat. (Lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/120)
 Adzan dan Iqamat
Dalam shalat id tidak ada tuntunan adzan, iqamat, atau pengumuman shalat lainnya seperti “hayya ‘alash shalah” atau “ash shalatu jami’ah.” Jabir bin Abdillah berkata, “Sesungguhnya saat shalat Idul Fitri tidak ada adzan sampai imam datang, juga tidak ada adzan setelah imam datang. Tidak ada iqamat, panggilan shalat, atau pengumuman apapun. Tidak ada adzan atau iqamat pada hari itu (pada masa Rasulullah, pen).” (Shahih Muslim)
Ibnu Baththal menjelaskan, “Bahwa dalam bimbingan as-Sunnah shalat dua hari raya adalah tanpa adzan dan iqamat.” (Syarhu Shahih al-Bukhari 2/556)
Ibnul Qayyim juga menjelaskan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam apabila telah sampai di tempat shalat id langsung memulai shalat tanpa adzan atau iqamat atau seruan ash shalatu jami’ah. Yang sunnah adalah tidak melakukan bentuk pengumuman apapun.” (Zadul Ma’ad 1/332)
 Tatacara Shalat Id
Shalat id berjumlah dua rakaat, dilaksanakan secara berjamaah bersama kaum muslimin. Pada rakaat pertama bertakbir sebanyak 7 kali setelah takbiratul ihram kemudian membaca bacaan dalam shalat, dan pada rakaat kedua bertakbir 5 kali setelah takbir bangkit dari sujud. Takbir boleh dilakukan dengan mengangkat tangan ataupun tidak. (Lihat Sunan Abu Dawud no. 1149 dari ‘Aisyah d, lihat juga Shahih al-Bukhari no. 189 dari Ibnu Umar secara mu’allaq)
Disunnahkan pada shalat id untuk membaca surat Al-A’la pada rakaat pertama  dan pada rakaat kedua membaca surat Al-Ghasyiyah. Atau membaca surat Qaf pada rakaat pertama dan pada rakaat kedua membaca surat Al-Qamar, dan dibaca dengan suara nyaring. (HR. Muslim no. 1122 dan no. 8910)
Bagi yang tertinggal takbir, maka dia memulai shalatnya dengan takbiratul ihram dan untuk seterusnya mengikuti gerakan imam. Takbir yang terluput tidak perlu diganti. (Al-Mughni 3/275)
Bagi yang tertinggal shalat id dengan berjamaah sementara waktunya belum habis,  maka hendaknya mengerjakan shalat id walaupun sendirian dengan tatacara yang telah dijelaskan di atas. (Fathul Bari 2/550)
Adapun bagi yang belum melakukannya setelah waktunya habis (karena ia tidak tahu bahwa hari itu adalah hari id), maka bisa diganti di hari setelahnya pada waktu yang sama. (Asy-Syarhul Mumti’ 5/121)
 Khutbah Setelah Shalat
Selesai shalat, imam langsung berdiri dan berkhutbah dihadapan seluruh makmum, demikianlah bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan al-Khulafa`ur Rasyidin. (Lihat Shahih al-Bukhari no. 956)
Barangsiapa mengedepankan khutbah sebelum shalat berarti telah menyalahi bimbingan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para khalifahnya.
 Khutbah tanpa Mimbar
Berkhutbah id di atas mimbar juga tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para khalifah setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Disebutkan bahwa orang pertama yang memulainya adalah Umar bin al-Khaththab dan Utsman bin ‘Affan, tetapi itu semua tidak benar. (Lihat HR. Muslim no. 882)
 Takbir ketika Khutbah
Demikian pula tidak ada keterangan yang shahih bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bertakbir tujuh kali di awal khutbah dan lima kali di sela-sela khutbahnya. Hadits yang menceritakan hal tersebut adalah dha’if/lemah. (Lihat Mishbahuz Zujajah fi Zawaidi Ibni Majah 1/152)
 Khutbah Hanya Sekali
Jika kita menilik hadits-hadits shahih tentang khutbah id Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, akan didapati bahwa khutbah beliau hanya sekali tanpa diselingi duduk layaknya khutbah Jumat. Asy-Syaikh  al-’Utsaimin rahimahullah berkata, “Barangsiapa memperhatikan hadits-hadits yang diakui keabsahannya di dalam Ash-Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) juga selain keduanya, maka tampaklah baginya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak pernah berkhutbah melainkan hanya sekali khutbah.” (Asy-Syarhul Mumti’ 5/146)
Saling Mendoakan
Di Hari Raya Idul Fitri disukai  untuk saling mengucapkan do’a,
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
“Taqabbalallahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amal ibadahku dan ibadahmu)” sebagaimana dahulu para shahabat melakukannya. Hal itu dimaksudkan agar kebahagiaan kita di Hari Raya Idul Fitri tetap bermakna ibadah.
Idul Fitri Bertepatan dengan Hari Jumat
Apabila Idul Fitri atau Idul Adha jatuh bertepatan dengan hari Jumat maka kewajiban shalat Jumat  telah gugur bagi yang menghadiri shalat id. Cukup baginya shalat zhuhur saja. Tetapi bagi imam dan khatib tetap dituntunkan menghadirinya. Dalam hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Pada hari ini telah terkumpul dua hari raya, barangsiapa berkehendak, boleh untuk tidak menghadiri shalat Jumat, sedangkan kami akan melaksanakan shalat Jumat.”  (HR. Abu Dawud no. 1073 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Semoga uraian ringkas ini bermanfaat bagi kita semua.  Amin ya Rabbal ‘alamin.
Wallahu a’lamu bish shawab…
Penulis: Ustadz Abdurrahman Rauf
Filed in: Khusus

Meraih Keutamaan Puasa


Meraih Keutamaan Berpuasa

Buletin Islam Al Ilmu edisi no: 35/IX/IX/1432 
       Para pembaca rahimakumullah, alhamdulillah, wajib bagi kita untuk bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang masih memberi kita kesempatan untuk bisa menjalankan puasa Ramadhan tahun ini. Semoga amalan ibadah kita baik puasa maupun yang lainnya diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Amin.
Para pembaca rahimakumullah, pada edisi kali ini akan kami sajikan beberapa fatwa para ulama tentang  beberapa hal yang berkaitan dengan puasa Ramadhan. Dengan harapan agar kita bisa beramal dengan ilmu dan bimbingan para ulama serta terjauhkan dari was-was (keraguan) dari syaithan.
[] Tanya: Apakah seorang yang akan menunaikan puasa Ramadhan wajib berniat setiap malam atau cukup berniat satu kali di awal bulan?
Jawab: Para ulama sepakat bahwa niat merupakan syarat sahnya setiap ibadah termasuk ibadah puasa, akan tetapi mereka berbeda pendapat apakah seorang yang akan menunaikan puasa Ramadhan wajib berniat setiap malam atau cukup berniat satu kali di awal bulan.
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat wajibnya niat puasa Ramadhan setiap malam dan sudah termasuk niat bangunnya seseorang untuk makan sahur. Apabila dia tidak bangun kecuali setelah terbitnya fajar akan tetapi dia telah berniat puasa sebelum tidur maka tetap berpuasa dan puasanya sah. Ini adalah merupakan pendapat Al Imam Asy Syafi’i dan Al Imam Ahmad. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Asy Syaikh bin Baz dan Asy Syaikh Shalih Al Fauzan.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa niat puasa Ramadhan cukup satu kali di awal bulan. Ini adalah merupakan pendapat Al Imam Malik, Al Laits dan Ash Shan’ani. Pendapat ini yang dipilih oleh Asy Syaikh Al ‘Utsaimin. Beliau menambahkan, ”…kecuali jika puasanya terputus di pertengahan bulan dikarenakan udzur yang syar’i seperti safar (bepergian) atau sakit atau yang lainnya maka wajib baginya untuk memperbarui niatnya.”
Adapun niat adalah merupakan amalan hati tidak perlu untuk diucapkan, dan tidak pernah ada contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau mengucapkan niat.
[] Tanya: Apakah mimisan atau gusi berdarah membatalkan puasa?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Darah yang keluar dari gigi tidaklah mempengaruhi puasa, tetapi hendaknya seseorang menjaga semaksimal mungkin agar darah tersebut tidak tertelan. Demikian pula ketika mimisan, hendaknya dijaga agar tidak tertelan. Sesungguhnya keadaan yang seperti ini tidak mewajibkannya untuk berbuat apapun, tidak pula mengganti puasanya.”
“Mimisan tidaklah membatalkan puasa walaupun darah yang keluar banyak jumlahnya, karena hal itu terjadi di luar kesengajaan.”  Fatawa Arkanul Islam no. 416 dan 428.
[] Tanya: Apakah muntah membatalkan puasa?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, “Apabila seseorang muntah dengan sengaja maka batal puasanya. Namun jika tidak sengaja maka puasanya tidak batal. Dalil yang menerangkan tentang hal ini adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang tidak kuasa menahan muntah (tidak sengaja) maka tidak ada kewajiban untuk mengganti puasa, sedangkan yang muntah dengan sengaja maka wajib mengganti puasanya.” (HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi)
Jika engkau tidak kuasa menahan muntah maka puasamu tidak batal. Jika seseorang merasakan mual pada perutnya dan merasa hendak muntah, maka aku nasehatkan agar tidak menahannya dan tidak pula memaksanya keluar. Bersikaplah secara wajar, jangan dipaksakan muntah dan jangan pula ditahan. Karena jika engkau paksakan muntah maka puasamu batal, dan jika engkau menahannya maka akan membahayakan dirimu. Jadi biarkan saja, jika memang keluar dengan sendirinya maka yang demikian itu tidaklah membahayakanmu dan tidak membatalkan puasamu.”  Fatawa Arkanil Islam no. 415.
[] Tanya: Apakah pemakaian infus membatalkan puasa?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Sesuatu yang tidak tergolong jenis makanan dan minuman akan tetapi berfungsi sebagaimana fungsi makanan dan minuman, semisal infus yang berfungsi pengganti makanan untuk menyuplai kebutuhan makanan bagi tubuh sehingga dengan itu seseorang tidak perlu makan dan minum. Demikian pula infus tambah darah bagi seseorang yang sakit,  karena mengingat tujuan dari makan dan minum adalah membentuk sel-sel darah sehingga jika seseorang disuntikkan darah sebagai tambahan, berarti telah dihasilkan tujuan makan dan minumnya. Maka perkara yang demikian ini membatalkan puasa.”
Beliau berkata, “Adapun suntikan yang tidak berfungsi sebagai pengganti makanan dan minuman, maka secara mutlak tidaklah membatalkan puasa, baik disuntikkan lewat urat ataupun lewat pembuluh darah.”  Fiqhus Sunnah Lin Nisa’ hal. 352.
[] Tanya: Apakah mencicipi masakan membatalkan puasa?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa jika tidak sampai menelannya. Walau demikian, mencicipi masakan itu jangan dilakukan kecuali jika dibutuhkan. Apabila ketika mencicipi tersebut ada sesuatu yang masuk kelambungnya tanpa disengaja maka puasanya tidak batal.” Fatawa Fi Ahkamis Shiyam no. 329.
Dalam kitab Asy Syarhul Mumti’ beliau berkata, “Makruh hukumnya mencicipi makanan kecuali jika memang dibutuhkan maka tidak mengapa, seperti tukang masak yang ingin mengecek asin atau manisnya makanan.”
[] Tanya: Apakah menelan ludah membatalkan puasa?
Jawab: “Seorang yang menelan ludahnya tidaklah merusak puasanya walaupun banyak, baik ketika di masjid atau yang lainnya. Adapun dahak atau riak maka janganlah ditelan, akan tetapi ludahkanlah ke sapu tangan atau yang semisalnya jika engkau berada di masjid.” (Fatwa al-Lajnah ad-Da`imah no. 9584)
[] Tanya: Apa hukum memakai pasta gigi ketika sedang berpuasa?
Jawab: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Penggunaan pasta gigi tidaklah membatalkan puasa jika tidak ditelan. Akan tetapi aku berpandangan bahwa bagi orang yang berpuasa untuk tidak menggunakannya di siang hari, namun gunakanlah di malam hari. Karena pasta gigi itu memiliki aroma/rasa yang sangat kuat yang kemungkinan bisa masuk kedalam perut dalam keadaan dia tidak menyadarinya.” Fatawa fi Ahkamish Shiyam no. 325.
[] Tanya: Apa hukum seseorang yang berbuka (membatalkan puasa) karena suatu udzur syar’i, kemudian di pertengahan hari udzur itu hilang darinya, apakah wajib untuk berpuasa di sisa harinya itu?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Tidak wajib baginya untuk menahan diri (dari makan dan minum), karena orang tersebut telah dibolehkan berbuka berdasarkan udzur syar’i. Syariat membolehkan berbuka bagi orang yang terpaksa untuk berbuka, misalkan bagi seseorang yang hendak minum obat yang jika dia meminumnya maka dia berbuka. Jika demikian maka keharaman hari itu tidak ada lagi karena dia telah diperbolehkan untuk berbuka, akan tetapi wajib baginya untuk mengganti (qadha’). Perintah kita kepada dirinya untuk menahan diri tanpa ada manfaat secara syar’i adalah tidak benar. Selama dia  tidak mendapatkan manfaat dengan menahan diri tersebut maka kita tidak boleh menyuruhnya berbuat demikian.” Fatawa Arkanil Islam no. 400.
Sampai pada ucapan beliau, “Semua orang yang tidak berpuasa di bulan ramadhan dengan adanya udzur syar’i maka tidak wajib baginya untuk menahan diri (dari makan dan minum di sisa harinya itu). Sebaliknya, bagi orang yang tidak berpuasa tanpa udzur maka wajib baginya untuk menahan diri, karena tidak halal baginya untuk berbuka. Dia sudah merusak keharaman hari itu tanpa adanya izin syar’i. kita harus memerintahkannya untuk tetap menahan diri dan mengganti puasanya  (qadha’), Allahu a’lam.”
[] Tanya: Apa hukum puasa seseorang yang tidur sehari penuh ketika berpuasa?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “ Puasamu hari itu tetap sah, namun engkau meninggalkan shalat dengan sebab tidurnya adalah perbuatan yang haram, karena tidak boleh bagi seseorang bermudah-mudahan dalam perkara shalat sampai pada batas tidur yang dapat melalaikan dari shalat dan tidak punya perhatian terhadap shalatnya. Maka wajib bagi seseorang apabila dia tidur dan tidak ada seseorang yang membangunkannya untuk shalat, hendaknya dia membuat alat pengingat seperti alarm dan semisalnya agar dia bisa bangun kemudian shalat dan tidur kembali jika dia menginginkannya. Terkait masalah ini, maka sungguh saya nasehatkan kepada saudara-saudaraku kaum muslimin dari hal-hal yang sebagian muslimin mengerjakannya, seperti begadang semalaman tanpa ada manfaat dan tidur sepanjang hari. Ini bukan termasuk kebiasaan para salaf di bulan Ramadhan. Bahkan mereka bersemangat menyibukkan diri pada waktu yang berharga ini dengan mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai macam ketaatan seperti shalat, dzikir, shadaqah dan berbuat baik kepada Penciptanya. Adapun orang yang tidak menggunakan waktunya dengan baik pada siang hari di bulan Ramadhan, kecuali menghabiskannya dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, maka sesungguhnya ini bukan termasuk kebiasaan para Salafush Shalih.” Fatawa fi Ahkamish Shiyam no. 125. Hal serupa juga disampaikan oleh al-Lajnah ad-Da`imah dalam fatwa no. 12542.
[] Tanya: Apakah boleh bagi seseorang yang memilki pekerjaan yang berat untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, “Pendapat saya dalam permasalahan ini bahwa berbukanya dia disebabkan pekerjaannya adalah haram, tidak boleh dilakukan. Apabila tidak mungkin untuk dijamak antara bekerja dan berpuasa maka hendaknya dia meminta izin untuk tidak bekerja di bulan Ramadhan, sehingga memudahkan baginya untuk berpuasa di bulan tersebut. Yang demikian ini dikarenakan puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang tidak boleh ditinggalkan.” Majmu’ Fatawa wa Rasa`il ibni ‘Utsaimin no. 94.
[] Tanya: Apa hukum seseorang yang sengaja mengeluarkan spermanya ketika sedang berpuasa?
Jawab: Al-Lajnah ad-Da`imah dalam fatwa no. 2192 menjelaskan, “Onani (mengeluarkan sperma dengan sengaja) hukumnya haram baik di bulan Ramadhan atau yang lainnya dan tidak boleh dikerjakan karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al Mu’minun ayat: 5-7).
Bagi orang yang mengerjakannya di siang hari bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa, maka wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah dan mengganti (qadha’) puasa tersebut. Dia tidak perlu membayar kafarat karena kafarat hanya dibebankan dalam permasalahan jimak saja.”
Wallahu a’lamu bish shawab.

Meraih Keutamaan Bulan Ramadhan


Meraih Keutamaan Ramadhan dengan banyak Beramal Shalih

Buletin Islam Al Ilmu Edisi No: 34/VIII/IX/1432 
       Berpuasa itu tidak hanya sekedar menahan makan dan minum. Sering kita mendengar nasihat-nasihat seperti itu, terkhusus di bulan suci Ramadhan, bulan penuh limpahan barakah yang tidak lama lagi akan tiba. Sebuah nasihat yang ringan untuk diucapkan, namun sangat berat untuk diamalkan. Demikianlah, sebuah amalan yang akan mengantarkan seorang mukmin meraih predikat takwa ini, tidak cukup dilakukan hanya dengan asal tidak makan dan tidak minum saja, tanpa memperhatikan adab dan etika puasa yang telah dituntunkan syari’at yang agung ini.
Begitu besar pahala yang Allah Subhanahu wa Ta’ala janjikan untuk hamba-Nya yang berpuasa, juga menjadikan puasa itu sendiri sebagai benteng dari api neraka, sangat berat untuk ditunaikan dengan sempurna jika tidak mengikuti rambu-rambu syar’i yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Inilah rambu pertama yang harus dilalui, seorang muslim hendaknya membangun ibadah puasanya di atas pondasi iman yang benar dan niat yang ikhlas untuk mendapatkan pahala dan keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan karena ingin dipuji atau sekedar ikut-ikutan tetangganya yang sedang berpuasa. Termasuk berpuasa dengan niat untuk menjaga kesehatan, atau menjaga berat badan supaya tetap ideal, ini semua merupakan niatan yang hendaknya dibuang jauh-jauh.
Rambu berikutnya yang mesti dilalui adalah sebagaimana yang diisyaratkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya:
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan  dusta, beramal dengannya, dan tindakan bodoh, maka Allah tidak membutuhkan usaha dia dalam meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Al-Bukhari)
Maksud dari hadits ini adalah jika seorang yang berpuasa tidak bisa menjaga lisan dan anggota badannya dari ucapan dan perbuatan yang haram, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan memberikan pahala atas puasanya, meskipun selama sehari penuh dia menahan lapar dan dahaga.
Walaupun setiap hari dia juga banyak melakukan shadaqah dan membaca Al-Qur’an, namun dia tidak menjauhkan diri dari perkataan kotor dan perbuatan keji, maka puasa yang dia lakukan tidak akan bernilai di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sehingga upaya untuk memperbanyak amal kebajikan harus berjalan beriringan dengan upaya untuk membersihkan diri dari segala bentuk kemungkaran. Tidak bisa dipisahkan antara keduanya.
 Puasa Ramadhan Mengantarkan kepada Al-Jannah
Suatu ketika, ada seseorang yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku kerjakan, aku akan masuk al-Jannah (Surga).”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, engkau menegakkan shalat fardhu, menunaikan zakat yang wajib, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Muslim)
Dari hadits di atas, nampak bahwa ibadah puasa Ramadhan yang akan mengantarkan pelakunya kepada pintu al-jannah adalah manakala amalan puasanya tersebut juga diiringi dengan:
1. Beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya (tidak berbuat syirik).
2. Menegakkan shalat fardhu lima waktu.
3. Menunaikan zakat, baik zakat mal (harta) maupun zakat fitrah.
Di samping memaksimalkan nilai ibadah puasa dengan memperbanyak amal shalih dan meninggalkan kemungkaran, seorang muslim hendaknya juga menjalankan beberapa ketaatan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas. Dan inilah sesungguhnya amal shalih yang paling besar karena amalan-amalan tersebut termasuk rukun Islam. Puasa Ramadhan tidaklah bermanfaat kalau satu saja dari amalan-amalan ketaatan tersebut ditinggalkan.
Termasuk puasa Ramadhan yang bisa mengantarkan ke dalam al-Jannah adalah ketika puasanya itu juga diiringi iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan realisasi (pengamalan) yang tepat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:

مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَبِرَسُولِهِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَصَامَ رَمَضَانَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menegakkan shalat, dan berpuasa Ramadhan, maka wajib bagi Allah untuk memasukkannya ke dalam al-Jannah.” (HR. Al-Bukhari)
Inti dari pengamalan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan mentauhidkan-Nya, dan inti dari pengamalan iman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah dengan berpegang teguh dengan sunnahnya, menaatinya, dan menjadikan beliau sebagai teladan dalam seluruh aspek kehidupannya, baik dalam hal ibadah, muamalah, akidah (keyakinan), maupun akhlak.
Ramadhan Bukanlah Momen untuk “Beristirahat” dari Maksiat
Sebagian orang menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai momen untuk “beristirahat” dari berbagai maksiat yang biasa dia lakukan di luar bulan Ramadhan. Namun, ternyata di benaknya masih ada niatan untuk mengulangi lagi kebiasaan jelek tersebut selepas Ramadhan. Bagaimana orang yang seperti ini keadaannya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan, “Orang yang meninggalkan maksiat pada bulan Ramadhan, dan di antara niatnya adalah akan mengulanginya lagi pada selain bulan Ramadhan, maka dia termasuk orang yang terus-menerus (berbuat maksiat itu) juga.” (Majmu’ Fatawa)
Yang demikian itu disebabkan karena di antara syarat taubat adalah meninggalkan perbuatan maksiat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Sehingga apabila seseorang telah meninggalkan suatu perbuatan maksiat, namun masih ada padanya keinginan dan tekad untuk mengulanginya lagi, maka dia belum dikatakan orang yang jujur dan sungguh-sungguh dalam taubatnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa sifat orang yang bertakwa dalam surat Ali ‘Imran ayat 133-136, di antaranya adalah:
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Ali ‘Imran: 135).
Sehingga tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk “meliburkan diri” dari kemaksiatan pada bulan Ramadhan, sementara di hatinya masih ada keinginan untuk mengulanginya lagi pasca bulan suci tersebut. Ramadhan bukan momen untuk “beristirahat” dari maksiat, akan tetapi bersegeralah untuk bertaubat dan hentikan segala bentuk kemaksiatan mulai saat ini dan seterusnya serta bertekad untuk tidak mengulangi lagi.
Hadits-hadits Lemah dan Palsu yang Sering Disebut di Bulan Ramadhan
Sangat banyak hadits yang menyebutkan keutamaan bulan Ramadhan dan puasa pada bulan itu. Namun, tidak sedikit dari hadits-hadits tersebut dha’if (lemah), yang tidak bisa dijadikan sandaran (dalil) dalam syari’at ini, atau bahkan maudhu’ (palsu), yang tidak pernah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Yang sangat disayangkan adalah ternyata hadits-hadits yang lemah dan palsu tersebut sudah menyebar dan dikenal di tengah-tengah masyarakat muslimin, yang mereka yakini itu adalah hadits shahih yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Padahal, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah memperingatkan umatnya dari perbuatan berdusta atas nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yakni menisbatkan suatu perkataan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, padahal beliau tidak pernah mengatakannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ يَقُلْ عَلَىَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa yang mengatakan atas namaku, apa-apa yang tidak pernah aku katakan, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. al-Bukhari)
Walaupun sebuah kalimat tampak indah bahasanya dan baik kandungannya, namun kalau itu bukan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, maka sekali-kali kita tidak boleh menyandarkan ucapan dan kalimat tersebut kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Al-Imam Abul Hajjaj Al-Mizzi rahimahullah (w. 742 H, salah seorang guru Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah) mengatakan: “Setiap yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah baik, namun tidak setiap perkataan yang baik itu merupakan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.” (Lisanul Mizan, karya Ibnu Hajar rahimahullah)
Oleh sebab itulah, pada lembar buletin ini, kami akan menyebutkan sebagian dari sekian banyak hadits dha’if dan maudhu’ (palsu) yang sering disebut pada bulan Ramadhan. Kami angkat hal ini sebagai bentuk nasihat kepada kaum muslimin, agar mereka bisa membedakan mana yang memang benar-benar merupakan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan mana yang bukan, sehingga kemurnian hadits-hadits dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tetap terjaga. Di antara hadits-hadits tersebut adalah:
  HADITS PERTAMA

لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ السَّنَةَ كُلَّهَا

“Kalau seandainya hamba-hamba itu tahu (keutamaan) yang ada pada bulan Ramadhan, maka niscaya umatku ini akan berangan-angan bahwa satu tahun itu adalah bulan Ramadhan seluruhnya.”  (hadits maudhu’/palsu)
Hadits tersebut di atas adalah hadits maudhu’(palsu), (Lihat dalam kitab: Al La`ali al Mashnu’ah fi al Ahaditsi al Maudhu’ah: 2/84, al Fawa`id al Majmu’ah fi al Ahaditsi al  Maudhu’ah: 1/88, Al Maudhuat Li ibni al Jauzi: 2/189).
Sebabnya adalah adanya seorang perawi yang bernama Jarir bin Ayyub, dia ini adalah seorang perawi yang sangat lemah(dha’if jiddan) dan dia meriwayatkan hadits tersebut sendirian tanpa ada yang menyertainya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab beliau Al Mathalib: 1/274.
 HADITS KEDUA

صُوْمُوْا تَصِحُّوْا

“Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.” (hadits dha’if/lemah)
Hadits ini juga tidak bisa dijadikan dalil/dasar karena terdapat kelemahan di dalamnya. (Lihat Tadzkiratul Maudhuat, hal: 70, Al Maudhuat lish Shaghani, hal: 72, dan Al Mughni ‘an Hamli al Asfar: 2/754).
Sebab lemahnya hadits tersebut adalah adanya seorang perawi yang bernama Zuhair bin Muhammad bin Abi Shalih. Jika yang meriwayatkan hadits  dari dia orang-orang Syam maka haditsnya lemah, dan salah satunya hadits ini. (Lihat Silsilah Al Ahaditsi Adh-Dha’ifah: 1/420)
HADITS KETIGA

أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ

“Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka.” (hadits dha’if/lemah)
Hadits tersebut lemah karena ada perawi yang bernama Sallaam bin Sawwaar dan Maslamah bin Ash Shallat, berkata Ibnu ‘Adi tentang Sallaam, ”Dia menurutku haditsnya mungkar, dan Maslamah tidak dikenal.” Abu Hatim mengatakan tentang Maslamah, “Haditsnya matruk (ditinggalkan/tidak diambil). (Lihat Silsilah Al Ahaditsi Adh-Dha’ifah: 4/70).
Wallahu a’lamu bish shawab.

Wanita Di Bulan Ramadhan


Wanita di Bulan Ramadhan

Buletin Islam Al Ilmu Edisi No: 36/IX/IX/1432
            Para pembaca yang mulia, buletin kali ini adalah sajian khusus untuk kaum wanita di bulan Ramadhan. Namun bukan berarti hanya khusus dibaca oleh mereka saja, karena faedahnya bisa diambil oleh selainnya.
            Bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, bulan yang dirindukan oleh para pencari kebaikan. Pada bulan inilah Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka pintu-pintu al-Jannah (surga) dan menutup pintu-pintu an-Naar (neraka), serta membelenggu syaithan, setelah itu diserukan:
“…Wahai para pencari kebaikan, sambutlah…” (HR. at-Tirmidzi no. 682 dan yang lainnya)
Sore hari, seorang ibu rumah tangga sibuk menyiapkan hidangan buka puasa untuk keluarganya. Malam harinya menjelang sahur, ia pun bangun lebih awal untuk menyiapkan hidangan makan sahur. Kesibukan semakin bertambah di kala pekan terakhir menjelang Idul Fitri, sang ibu sibuk merancang aneka masakan ataupun kue untuk dihidangkan pada hari yang berbahagia itu. Ia juga memikirkan baju baru untuk anak-anaknya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tambahan hidayah kepada para ibu dan balasan yang baik atas amalan yang mereka lakukan.
Nasehatku untuk para ibu dan kaum wanita, walaupun kalian memikul tugas dan kewajiban yang berat, namun jangan sampai lalai untuk mempelajari ibadah puasa yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, terkhusus yang terkait dengan kalian sendiri. Laksanakanlah ibadah puasa dengan sebenar-benarnya, karena ia sebagai wasilah (perantara) untuk meraih derajat takwa, suatu bekal yang paling baik dan paling berharga untuk bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
 Amalan-amalan Mubah
Ada beberapa masalah yang disangka membatalkan puasa ternyata tidak membatalkan. Di antaranya:
1. Dalam hal memasak
Tidak mengapa mencicipi masakan bila diperlukan selama tidak ditelan dengan sengaja. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan sebuah atsar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu secara mu’allaq (tanpa menyebutkan sanad dengan lengkap) bahwa beliau berkata:
“Tidaklah mengapa (bagi orang yang berpuasa) mencicipi masakan atau sesuatu yang lain.”
(Lihat Fathul Bari hadits no. 1930)
Kemudahan yang diberikan oleh agama ini manfaatkanlah dengan tanpa berlebihan. Masalah ini kelihatannya sepele, namun bisa menjadi penting dan berarti, karena jika masakan yang disajikan itu enak rasanya tentu lebih disukai oleh keluarga.
Nasehatku, di saat kalian memasak janganlah berlebihan dalam hidangan berbuka atau sahur dengan berbagai macam masakan dan minuman. Perhatikanlah waktu dengan sebaik-baiknya. Di kala sore hari saat memasak jangan lupa sisakan waktu untuk berdzikir (dzikir petang), karena itu adalah amalan yang besar apalagi di bulan Ramadhan.
Demikian pula di malam hari saat menyiapkan makan sahur sisakan waktu untuk berdoa, karena waktu sahur termasuk di antara waktu-waktu yang mustajab.
2. Berhias atau berdandan
Tidaklah mengapa kalian berdandan di depan suami atau mahram-nya. Memakai inai (pacar kuku), parfum (selama tidak untuk keluar rumah), memotong kuku, mencabut bulu ketiak, atau yang lainnya selama tidak melanggar batasan syariat.
3. Bercumbu dengan Suami
Di siang hari tidak mengapa kalian bercumbu dan bercengkerama dengan suami, asalkan tidak dikhawatirkan terjatuh ke dalam amalan yang diharamkan ketika berpuasa yaitu jimak (bersetubuh). Al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim meriwayatkan dari shahabat Aisyah, beliau berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mencium dan mencumbu istrinya dalam keadaan beliau berpuasa, namun beliau adalah orang yang paling mampu mengekang syahwatnya di antara kalian”. (HR. al-Bukhari no. 1826 dan Muslim no. 1106)
Asy-Syaikh bin Baz berkata, “Ciuman, cumbuan dan sentuhan seorang suami terhadap istrinya tanpa hubungan jimak dalam keadaan ia berpuasa semua itu boleh, tidak ada pantangan baginya. Dikarenakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mencium dan mencumbu istrinya dalam keadaan beliau berpuasa. Namun apabila dikhawatirkan menyebabkan terjatuh  ke dalam hal yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala karena syahwatnya mudah bangkit, maka hal itu makruh baginya. (Lihat Fatawa Ramadhan no. 379 dan 380)
Wanita Haid atau Nifas
Haid dan nifas, keduanya adalah pembatal puasa, dengan demikian seorang wanita yang mengalami haid atau nifas  haram baginya berpuasa dan diwajibkan mengqadha’ (mengganti puasa yang ditinggalkan) di hari yang lain. Dasarnya adalah hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau pernah ditanya oleh Mu’adzah, mengapa seorang wanita yang haid diwajibkan mengqadha’ puasa namun tidak mengqadha’ shalat? Aisyah menjawab:
“Dahulu kami di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengalami haid, namun kami (hanya) diperintah mengqadha’ puasa dan tidak diperintah mengqadha’ shalat. (HR. Muslim no. 335)
Hadits di atas berkenaan dengan wanita yang sedang haid, lalu bagaimana dengan wanita yang sedang nifas? Para ulama sepakat bahwa hukum-hukum yang berlaku untuk wanita yang sedang haid berlaku pula untuk wanita yang sedang nifas. Karenanya, wanita yang sedang nifas tidak boleh baginya berpuasa namun menggantinya di hari yang lain, sebagaimana wanita yang mengalami haid.
Permasalahan yang terkait dengan haid dan nifas:
1. Wanita yang datang haidnya menjelang matahari terbenam.
Hendaknya permasalahan ini jangan dianggap ringan atau sepele, karena sangat mungkin terjadi pada kaum wanita. Jawaban masalah ini telah difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da`imah, “Jika seorang wanita itu datang haidnya sebelum matahari terbenam, maka puasanya batal dan wajib atasnya mengganti di hari yang lain.” (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah no. 1034, diketuai oleh Asy-Syaikh Bin Baz)
2. Wanita yang suci dari haid atau nifas pada siang hari Ramadhan.
Wajib baginya untuk segera mandi dan sejak itu diwajibkan melaksanakan shalat. Adapun yang terkait dengan ibadah puasa, maka ada sebagian ulama yang berpendapat wajib baginya untuk menahan dari makan, minum, dan seluruh pembatal puasa dari sisa waktu pada siang hari itu hingga matahari terbenam, namun tetap wajib atasnya mengqadha’ pada hari yang lain. Sebagian yang lain berpendapat tidak ada kewajiban menahan dari semua pembatal puasa, hanya saja diwajibkan mengqadha’ pada hari yang lain. Karena pada awalnya ia adalah seorang wanita yang sedang haid yang tidak boleh baginya berpuasa. Pendapat kedua ini yang dipilih oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin. (Lihat soal pertama dari 60 Soal tentang Hukum-hukum Wanita Haid, karya asy-Syaikh al-’Utsaimin)
3. Wanita yang suci menjelang terbitnya fajar shadiq awal waktu shalat subuh.
Kalau memang wanita itu suci sebelum terbitnya fajar, maka wajib baginya puasa walaupun ia baru sempat mandi setelah adzan subuh, dan puasanya sah serta tidak ada kewajiban qadha’ baginya.
4.  Wanita yang berhenti (suci) dari nifas kurang dari 40 hari, maka wajib atasnya untuk mandi kemudian berlaku kembali kewajiban shalat dan puasa. (Lihat soal ke-4 dari 60 Soal tentang Hukum-hukum Wanita Haid, karya asy-Syaikh al-’Utsaimin)
5. Wanita yang mengalami istihadhah (darah yang keluar dari rahim, selain darah haid atau nifas), maka tetap wajib baginya shalat dan puasa sebagaimana hukum wanita yang suci. Hanya saja untuk ibadah shalat wajib baginya untuk berwudhu setiap kali akan mengerjakan shalat.
6. Apa hukum meminum obat pencegah haid yang diperkirakan oleh seorang wanita bahwa haidnya akan datang pada bulan Ramadhan?
Asy-Syaikh Muhammad al-Wushabi dan asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berpendapat tidaklah mengapa selama tidak mendatangkan efek samping yang membahayakan bagi kesehatan tubuhnya.
Asy-Syaikh al-’Utsaimin menasehatkan kepada kaum wanita,  “Saya memperingatkan agar menjauh dari perbuatan itu. Dikarenakan obat-obat itu mengandung efek samping yang sangat besar bahayanya, saya mendapatkan keterangan ini dari para dokter. Maka perlu disampaikan kepada kaum wanita bahwa masalah haid ini sudah menjadi takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi kaum wanita dari anak-cucu Adam, maka terimalah ketetapan-Nya dan berpuasalah selama tidak ada yang menghalangimu (haid). Dan jika kamu mendapati haid tersebut maka berbukalah (jangan berpuasa) dengan penuh ridha terhadap takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Lihat soal ke-23 dari 60 Soal tentang Hukum-hukum Wanita Haid, karya asy-Syaikh al-’Utsaimin)
 Wanita Hamil atau Menyusui
Pada dasarnya, hamil atau menyusui bukanlah penghalang bagi wanita untuk berpuasa. Tetapi agama ini telah memberikan keringanan bagi keduanya untuk tidak berpuasa jika dengan puasa itu dikhawatirkan akan membahayakan dirinya dan janin/ bayinya atau salah satunya. Namun apa konsekuensinya?
Pembahasan masalah ini telah dibahas panjang lebar oleh para ulama. Ringkasnya,  para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang berpendapat bahwa keduanya wajib mengqadha` puasa dan membayar fidyah. Ada  juga yang berpendapat wajib qadha’ saja, dan ada yang berpendapat wajib membayar fidyah saja, baik karena khawatir kondisi dirinya atau khawatir terhadap janin atau bayinya.
Wallahu a’lam, pendapat ketiga (terakhir) ini yang penulis pilih, tentu saja dengan tetap menghormati pendapat yang lain. Dasarnya adalah pernyataan dari shahabat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Diriwayatkan dalam Tafsir ath-Thabari hadits no. 2759 atsar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau melihat seorang ibu yang mengandung atau menyusui, beliau berkata:
“Kamu seperti keadaan orang yang tidak ada kemampuan berpuasa, maka hanyalah wajib bagimu membayar fidyah dengan memberi makan pada setiap harinya seorang yang miskin dan tidak ada kewajiban qadha’ bagimu.”
Diriwayatkan di dalam Sunan ad-Daruquthni  no. 2413 atsar dari shahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, suatu saat istrinya yang sedang hamil bertanya kepadanya, maka beliau berkata:
“Berbukalah dan berilah makan pada setiap harinya seorang yang miskin.”
Kedua riwayat di atas dishahihkan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam al-Irwa’ 4/18.
Nasehatku, ketika kalian tidak menjalankan ibadah puasa karena datangnya haid, nifas, hamil, menyusui, atau sebab yang lain, maka hendaknya kalian menyibukkan dengan ibadah-ibadah yang lain, seperti menjaga dzikir di waktu pagi dan petang yang dituntunkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tidak lupa juga memperbanyak amalan shadaqah, dan meramaikan rumah kalian dengan berbagai amalan kebaikan yang lainnya.
Demikian juga di saat kalian tidak berpuasa hendaknya tetap menjaga lisan dari berbuat ghibah (membicarakan kejelekan orang lain), mencela, berkata-kata kotor atau berbuat dengan perbuatan-perbuatan orang bodoh.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’alamenerima amalan kita dan menggolongkan kita termasuk hamba-Nya yang bertakwa.
Wallahu a’lamu bish shawab…
Penulis: Ustadz Arif Abdurrahman





ISLAM ITU MUDAH DAN INDAH


Agama Islam itu Mudah & Indah

Buletin Islam Al Ilmu Edisi No: 32/VIII/IX/1432

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185)
Dinul Islam adalah ajaran dan tuntunan yang diturunkan dari sisi Sang Pencipta, Pemelihara, Pemilik langit, bumi serta segala isinya, termasuk manusia tentunya. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat yang Maha Mengetahui batas kekuatan, kemampuan, serta potensi manusia. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala pun menetapkan syari’at yang sesuai dengan kemampuan mereka dan bukan kemauan hawa nafsu mereka. Dinul Islam tidaklah menghendaki kesukaran, namun justru datang dengan membawa kemudahan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama ini (Islam) mudah, dan tidak ada seorang pun yang mempersulitnya melainkan (agama itu) mengalahkan dia (mengembalikan dia kepada kemudahan).” (HR Al-Bukhari no. 39)
Islam bukan agama ritual penyiksaan diri, Islam memberi keringanan tatkala sakit atau tidak mendapatkan air dengan bertayammum sebagai pengganti wudhu. Islam menekankan untuk menyegerakan berbuka puasa bila telah tiba waktunya, bahkan melarang puasa terus-menerus setiap hari selain puasa Ramadhan. Islam juga menekankan pentingnya shalat malam, namun melarang melaksanakannya semalam suntuk. Islam mensyariatkan untuk menikah, melarang praktik membujang bagi pemeluknya.
Wahai saudaraku, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan kita. Sebagai contoh dalam urusan kematian, Islam menuntunkan demikian praktis dan mudah. Jika ada seorang muslim yang meninggal dunia maka jenazahnya cukup dimandikan, dikafani, dishalati, dimakamkan dan juga disunnahkan dimintakan ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Disunnahkan pula kita berta’ziyah  dengan mendoakan dan menghibur keluarga si mayit. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan para sahabat untuk membuat makanan untuk keluarga Ja’far radhiyallahu ‘anhu setelah meninggalnya Ja’far radhiyallahu ‘anhu. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya):
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.” (HR. At Tirmidzi)
Ibadah Bersifat Tauqifiyah
Wahai saudaraku di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga kita. Ketahuilah, ibadah dalam islam adalah bersifat tauqifiyah, ketetapan yang sudah paten, kita tidak boleh kita menambah atau mengurangi dari apa yang telah dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada celah bagi kita untuk membuat tata cara dan bentuk baru dalam ibadah. Baik buruknya ibadah bukan diukur dari banyak-sedikitnya amalan, namun parameternya adalah keikhlasan dan kesesuaian dengan contoh, tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga Islam itu tidak sulit dan tidak merpersulit, karena tinggal mengikuti contoh praktek Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Tiga orang sahabat Nabi datang ke rumah istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ingin menanyakan tentang ibadah yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah mereka memperoleh kabar tentang ibadah Nabi, seakan-akan mereka menganggap hal itu sedikit. Mereka menyatakan: “Di mana posisi kita dibandingkan dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal Nabi telah diampuni dosa-dosanya baik yang telah lalu maupun yang akan datang.” Akhirnya salah seorang di antara mereka berkata: “Adapun saya, akan menegakkan shalat malam selamanya (tidak pernah tidur malam).” Yang kedua berkata: “Sedangkan saya akan berpuasa selamanya, tidak ingin berbuka walaupun sehari.” Adapun sahabat terakhir berkata: “Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya.” Maka kemudian Rasulullah datang menemui mereka dan bertanya: “Apakah benar kalian yang menyatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dibanding kalian. Aku adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah dibanding kalian. Akan tetapi aku berpuasa juga berbuka. Aku mengerjakan shalat malam dan aku juga tidur. Aku pun menikahi kaum wanita. Maka barangsiapa yang membeci sunnahku, dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Al-Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1159)
Alasan kedatangan ketiga sahabat tersebut: “Karena amalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara lahiriah diketahui oleh kaum muslimin secara umum, seperti amalan beliau di masjid, di pasar, atau yang beliau lakukan ditengah masyarakat bersama para sahabat, mayoritas sahabat di Madinah mengetahuinya. Adapun amalan beliau yang bersifat sirr (tersembunyi), hanya keluarga beliau yang tahu dan sebagian para sahabat yang membantu beliau seperti Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya. Maka, datanglah ketiga sahabat tersebut ke rumah istri-istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan ibadah beliau ketika berada di rumah.
Dikarenakan para sahabat memiliki iman dan semangat yang tinggi untuk beramal shalih, maka mereka menganggap sedikit amal ibadah yang telah mereka kerjakan. Sehingga masing-masing bertekad untuk memilih satu bentuk ibadah. Salah seorang di antara mereka bertekad untuk berpuasa setiap hari, yang kedua hendak mengerjakan shalat malam sepanjang malam, adapun yang ketiga akan menjauhi wanita tidak menikah. Namun ketika tata cara ibadah yang dilakukan ketiga sahabat tersebut melampaui batas dari yang telah dituntunkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur dan membimbing mereka.
Bahaya Berlebihan dalam Ibadah
Ibadah secara berlebihan tidak disukai. Mengapa? Ibnu Hajar menukil pernyataan Ibnu Baththal sebagaimana dalam Fathul Bari, “Hal tersebut dibenci karena dikhawatirkan munculnya sikap jenuh sehingga justru meninggalkan ibadah tersebut secara keseluruhan.”
وَعَنْ عَائِشَةَ d: أنَّ النَّبيَّ n دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا امْرَأَةٌ، قَالَ: مَنْ هذِهِ؟ قَالَتْ: هَذِهِ فُلاَنَةٌ تَذْكُرُ مِنْ صَلاتِهَا. قَالَ: مَهْ، عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ، فَوَاللهِ لاَ يَمَلُّ اللهُ حَتَّى تَمَلُّوا. وَكَانَ أَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَيْهِ مَا دَاوَمَ صَاحِبُهُ عَلَيْهِ.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, suatu hari masuk menemui ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu. Pada waktu itu ada seorang wanita di sisinya. Rasulullah bertanya, “Siapa wanita itu?” Aisyah menjawab, “Fulanah, dia sedang menceritakan tentang (lamanya) shalat malamnya. Maka Rasulullah membimbing, “Cegahlah dia, hendaknya kalian beramal sesuai dengan kemampuan. Demi Allah, Allah tidak akan jemu sampai kalian sendiri yang merasa jemu.” ‘Aisyah juga mengabarkan bahwa ibadah yang paling beliau sukai adalah ibadah seseorang yang dilakukan secara berkelanjutan. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Di dalam hadits di atas terdapat faedah bahwa sudah seharusnya bagi seorang hamba tidak memaksakan diri dalam menjalankan ketaatan dan banyak beramal di luar batas kepatutan. Karena hal itu akan menimbulkan kejenuhan yang justru berakibat fatal, yaitu meninggalkan ibadah tersebut semuanya. Keberadaan dirinya yang selalu menjaga amalan dan istiqamah, walaupun sedikit, tentu lebih utama. (Demikian penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ).
وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
“Dan tidak ada seorang pun yang mempersulitnya melainkan (agama itu) mengalahkan dia (mengembalikan dia kepada kemudahan).” (HR. Al Bukhari no. 39)
Makna hadits ini ialah adanya larangan bagi seseorang yang hendak memberatkan diri dalam amalan din (agama), karena dia tidak akan mampu meneruskan amalan melebihi batas yang disyariatkan. Dan pada akhirnya dia akan jemu dan mengalami kekalahan.
Wahai saudaraku yang semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala Merahmati kita semua. Marilah kita perhatikan baik-baik nasehat seorang sahabat mulia Salman Al-Farisi terhadap sahabat Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu (yang artinya):
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Salman dan Abud Darda’. Suatu hari Salman Al-Farisi datang berkunjung ke rumah Abud Darda’. Mendapati keluarganya kurang mendapatkan perhatian dari Abud Darda’, Salman Al –Farisi pun bertanya, “Ada masalah apa?” Istri Abud Darda` menjawab, “Saudaramu, Abud Darda’ tidak lagi membutuhkan dunia.” Kemudian datanglah Abud Darda’ membuat makanan untuk Salman dan berkata, “Makanlah, aku sedang berpuasa.” Salman berkata, “Saya tidak akan menikmati makanan ini kecuali engkau menemaniku makan. Maka Abud Darda’ ikut menyantap makanan tersebut.
Di saat malam hari tiba Abud Darda’ bangkit untuk mengerjakan shalat malam. Salman menasehati agar Abud Darda’ istirahat dan tidur. Beliau pun menurut dan segera tidur. Di pertengahan malam Abud Darda’ ingin menegakkan shalat malam. Salman masih memberi nasehat yang sama, agar beliau istirahat dan tidur. Setelah masuk waktu akhir malam, Salman pun membangunkan Abud Darda’, “Bangunlah sekarang!” Mereka berdua lalu menegakkan shalat malam. Sesudah itu Salman menyampaikan nasehat, “Sesungguhnya Rabb-mu memiliki hak darimu. Dirimu pun juga memiliki hak. Demikian pula keluargamu memiliki hak yang harus engkau tunaikan. Maka tunaikanlah haknya masing-masing.” Setelah kejadian itu, beliau menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk menceritakan kisahnya. Rasulullah bersabda, “Salman memang benar.” (HR. Al-Bukhari 8/40, 6139)
Simaklah hadits berikut:
دَخَلَ النَّبيُّ n المَسْجِدَ فَإِذَا حَبْلٌ مَمْدُوْدٌ بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ، فَقَالَ: مَا هَذَا الحَبْلُ ؟ قَالُوْا: هَذَا حَبْلٌ لِزَيْنَبَ، فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَّقَتْ بِهِ. فَقَالَ النَّبيُّ n: حُلُّوْهُ، لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَقْعُدْ
“Suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid. Beliau mendapatkan seutas tali terikat di antara dua tiang masjid. Lantas Rasulullah bertanya, “Tali untuk apa ini?” Para sahabat menjawab, “Tali ini milik Zainab. Apabila dia merasa capek shalat, dia pun bergantung dengan tali tersebut.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, “Lepaskan tali ini! Hendaknya siapapun di antara kalian menegakkan shalat dalam keadaan giat. Apabila dia merasa capek, hendaknya dia duduk.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa tidak dibenarkan seorang hamba terlalu berdalam-dalam serta berlebihan (keluar dari tuntunan syari’at) dalam beribadah. Ia memaksakan diri untuk melaksanakan sesuatu yang di luar batas kemampuannya. Seharusnya ia menegakkan shalat dalam keadaan semangat. Manakala ia merasa lelah hendaknya ia berhenti, tidur untuk istirahat. Karena orang yang shalat dalam keadaan lelah, konsentrasinya akan lemah, tidak bisa khusyu’, jenuh dan jemu. Mungkin saja ia akan menbenci ibadah tersebut. Bahkan bisa jad yang tadinya ingin mendoakan kebaikan untuk dirinya, ternyata malah mendoakan kejelekan bagi dirinya. (Lihat Syarah Riyadhush Shalihin)
Penutup
Wahai saudaraku di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Betapa luasnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi seluruh hamba-Nya, yang menjadikan syari’at ini begitu mudah. Jangan kita nodai keagungan rahmat-Nya dengan sikap berlebih-lebihan dalam menjalankan syari’at-Nya. Menjalankan amal ibadah akan mudah bila dalam bingkai bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas pemahaman Salaful-Ummah. Semoga Allah memberi kita taufik, hidayah dan istiqamah serta menggolongkan kita menjadi Ahlul Jannah. Amin.
Wallahu a’lamu bish shawab.