Kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur`an
Pembaca yang dirahmati Allah subhaanahu wa ta’aalaa,
sering kita mendengar kata “As-Sunnah” (اَلسُّنَّةُ) diucapkan baik
dalam ceramah-ceramah agama atau disebut dalam tulisan-tulisan di
majalah atau buletin bernuansa Islam. Sering pula kita dapati kata
As-Sunnah digandengkan dengan kata Al-Qur`an. Namun sebuah pertanyaan
yang harus dijawab oleh setiap kita sebagai seorang muslim, “Apakah kita
telah memahami kata As-Sunnah dengan pemahaman yang benar?” Pemahaman
yang dapat membantu kita untuk menerapkan makna As-Sunnah sesuai dengan
yang diinginkan Allah subhaanahu wa ta’aalaa dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Tentu hal itu akan terjawab dengan kita berusaha mengkaji ilmu agama
yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Maka, pada tema kali ini
kita mencoba membahas kata As-Sunnah dan hal-hal yang berkaitan
dengannya.
Definisi As-Sunnah
Kata As-sunnah (اَلسُّنَّةٌ) adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata kerja (fi’il) سَنَّ – يَسُنُّ yang secara bahasa bermakna jalan atau cara, yang baik maupun yang buruk. Adapun secara istilah syar’i yaitu jalan atau cara yang telah ditempuh oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, mencakup yang wajib maupun yang mustahab. Mencakup pula urusan akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah. Al-Imam Ibnu ‘Allan rahimahullaahu berkata dalam kitab beliau Dalilul Falihin (2/418), ketika menjelaskan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (فعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ) hadits al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallaahu ‘anhu, “Yakni caraku (cara Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ed.) dan jalan hidupku yang lurus yang aku berada di atasnya dari segala apa yang telah aku rinci kepada kalian. Baik hukum-hukum yang berkaitan dengan akidah maupun amaliah yang wajib, mustahab dan selainnya.” (Lihat Dharuratul Ihtimam bis Sunan an-Nabawiyah hal. 20)
Dengan demikian, kata As-Sunnah jika disebutkan secara mutlak dengan konteks pujian maka yang dimaksud adalah makna secara syar’i yang umum mencakup hukum-hukum yang terkait dengan akidah dan amaliah baik yang wajib, mustahab, maupun mubah. Demikian pula jika disebutkan dalam sabda Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, perkataan para sahabat radhiyallahu ‘anhum atau tabi’in. (Lihat Dharuratul Ihtimam hal. 20). Dan bukanlah makna As-Sunnah dengan konteks di atas bermakna lawan dari wajib (apabila dikerjakan mendapat pahala, dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa) sebagaimana pengertian As-Sunnah menurut ahli fiqih.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaahu dalam Fathul Bari (10/341), “Telah tetap bahwa lafazh As-Sunnah yang ada di dalam hadits bukan bermakna lawan dari wajib.” Beliau juga berkata ketika menjelaskan hadits:
“Yang dimaksud dengan lafazh Sunnah di sini adalah jalan atau cara, bukan lawan dari wajib.” (Lihat Fathul Bari 9/105).
Oleh karena itu, wajib bagi kaum muslimin memahami ini dengan benar, karena di sana ada sebagian orang yang memaknakan kata As-Sunnah secara mutlak, yaitu lawan dari wajib. Jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggal tidak berdosa. Sehingga mereka bermudah-mudahan meninggalkan As-Sunnah yang mustahab dan bahkan yang wajib. Allahul musta’an.
Kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur`an
Setelah kita mengetahui definisi As-Sunnah yang benar, maka perlu kita ketahui bagaimana kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur`an.
Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah menjelaskan dalam banyak ayat-Nya yang mulia, demikian pula Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskan tentang kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur`an. Di antaranya:
“Dan telah kami turunkan adz-Dzikr (Al-Qur`an) kepadamu agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang kami turunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)
Di dalam ayat ini Allah subhaanahu wa ta’aalaa menjelaskan bahwa As-Sunnah adalah penjelas dan pemerinci Al-Qur`an. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Al-Imam Ahmad rahimahullaahu berkata, “As-Sunnah adalah tafsir (penjelas, ed.) Al-Qur`an.” (Ushulus Sunnah lil Imam Ahmad hal. 16)
2. As-Sunnah adalah wahyu Allah subhaanahu wa ta’aalaa sebagaimana Al-Qur`an
Hanya saja Al-Qur`an adalah mukjizat dan membacanya telah termasuk ibadah, berbeda dengan As-Sunnah. Akan tetapi keduanya memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman (yang artinya):
“Dan tidaklah dia (Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ed.) berkata dari hawa nafsunya semata, melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (An-Najm: 3-4)
Seorang muslim tidak mungkin mencukupkan dirinya dengan Al-Qur`an saja, bahkan ia tidak bisa beramal dan beribadah dengan benar tanpa As-Sunnah. Karena As-Sunnah adalah penjelas atau pemerinci Al-Qur`an. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengerjakan shalat lima waktu dengan benar kalau ia tidak merujuk kepada As-Sunnah?! Karena hanya dalam As-Sunnah terdapat penjelasan dan rincian tentang tatacara shalat-shalat tersebut, baik dengan ucapan maupun amaliah atau praktik dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari sini kita memahami betapa mendesaknya kebutuhan kita kepada As-Sunnah, sampai-sampai al-Imam Makhul asy-Syami rahimahullaahu berkata, “Al-Qur`an lebih butuh kepada As-Sunnah daripada butuhnya As-Sunnah kepada Al-Qur`an.” (Al-Ibanah 1/253)
Ucapan beliau ini tidaklah bermakna bahwa As-Sunnah lebih tinggi kedudukannya daripada Al-Qur`an atau lebih mulia dari Al-Qur`an, akan tetapi makna ucapan beliau adalah, “Seorang muslim sangatlah butuh kepada As-Sunnah dalam mengamalkan Al-Qur`an.” Hal ini benar, karena mayoritas ahkam (hukum-hukum) dalam Al-Qur`an bersifat global sehingga sangat butuh penjabaran dan rincian dari As-Sunnah.
Selain As-Sunnah adalah wahyu Allah subhaanahu wa ta’aalaa yang kedudukannya sama dengan Al-Qur`an (datangnya dari Allah subhaanahu wa ta’aalaa) juga termasuk dari dua hal yang diwariskan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits:
Maka wajib bagi seorang muslim yang benar imannya dan mendambakan kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat hendaklah menjadikan Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup. Serta senantiasa berpijak kepada keduanya dalam beramal.
Bahaya Menyelisihi As-Sunnah
Sungguh Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah memberikan peringatan atau ancaman keras bagi mereka yang meninggalkan As-Sunnah dengan sengaja. Di antaranya ialah firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa (yang artinya):
“Maka berhati-hatilah orang yang menyelisihi perintah Rasul (sunnahnya) untuk ditimpa fitnah atau adzab yang pedih.” (An-Nur: 63)
“Wahai orang-orang yang beriman ja-nganlah kalian mengangkat suara kalian dari suara Nabi, dan janganlah berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya suara sebagian kalian terhadap sebagian lainnya, supaya tidak terhapus amalan kalian sementara kalian tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 2)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullaahu berkata ketika menjelaskan ayat di atas, “Dalam ayat ini Allah subhaanahu wa ta’aalaa memperingatkan kaum muslimin dari terhapusnya amalan-amalan mereka disebabkan mengeraskan suara kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sebagian mereka mengeraskan suara kepada sebagian yang lain.” (Al-Wabilush Shoyyib 1/11, Ta’zhimus Sunnah hal. 22)
Pembaca yang dirahmati Allah subhaanahu wa ta’aalaa, kalaulah hanya sekedar mengeraskan suara kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka akan terhapus amalannya, maka bagaimana dengan meremehkan As-Sunnah beliau atau menentangnya? Tentu amatlah keras siksanya. Dan, perlu diingat bahwa orang yang meremehkan As-Sunnah serta meninggalkannya dengan sengaja karena sombong akan disegerakan adzabnya oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa di dunia sebelum di akhirat. Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullaahu dari sahabat Salamah bin al-Akwa` radhiyallaahu ‘anhu bahwa ada seseorang makan di dekat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya, maka Rasulullah menegurnya, “Makanlah dengan tangan kananmu,” namun ia menjawab (dengan kesombongan), “Aku tidak bisa.” Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kamu tidak akan bisa selamanya,” maka pada saat itu juga lelaki itu tidak bisa mengangkat kedua tangannya ke mulutnya. Hadits ini dan ayat sebelumnya, teguran keras bagi siapa saja yang meninggalkan As-Sunnah. Dan, seharusnya bagi kita untuk bersungguh-sungguh dalam mengamalkan As-Sunnah. Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu berkata (yang artinya):
“Tidaklah aku meninggalkan sesuatu yang diamalkan Rasulullah kecuali aku mengamalkannya, dan sungguh aku sangat khawatir (takut) jika aku meninggalkan sesuatu dari sunnahnya akan tersesat.” (Lihat Ta’zhimus Sunnah hal. 24)
Wallaahu a’lam.
Penulis: Al-Ustadz Abu Habib hafizhahullaahu
Definisi As-Sunnah
Kata As-sunnah (اَلسُّنَّةٌ) adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata kerja (fi’il) سَنَّ – يَسُنُّ yang secara bahasa bermakna jalan atau cara, yang baik maupun yang buruk. Adapun secara istilah syar’i yaitu jalan atau cara yang telah ditempuh oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, mencakup yang wajib maupun yang mustahab. Mencakup pula urusan akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah. Al-Imam Ibnu ‘Allan rahimahullaahu berkata dalam kitab beliau Dalilul Falihin (2/418), ketika menjelaskan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (فعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ) hadits al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallaahu ‘anhu, “Yakni caraku (cara Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ed.) dan jalan hidupku yang lurus yang aku berada di atasnya dari segala apa yang telah aku rinci kepada kalian. Baik hukum-hukum yang berkaitan dengan akidah maupun amaliah yang wajib, mustahab dan selainnya.” (Lihat Dharuratul Ihtimam bis Sunan an-Nabawiyah hal. 20)
Dengan demikian, kata As-Sunnah jika disebutkan secara mutlak dengan konteks pujian maka yang dimaksud adalah makna secara syar’i yang umum mencakup hukum-hukum yang terkait dengan akidah dan amaliah baik yang wajib, mustahab, maupun mubah. Demikian pula jika disebutkan dalam sabda Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, perkataan para sahabat radhiyallahu ‘anhum atau tabi’in. (Lihat Dharuratul Ihtimam hal. 20). Dan bukanlah makna As-Sunnah dengan konteks di atas bermakna lawan dari wajib (apabila dikerjakan mendapat pahala, dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa) sebagaimana pengertian As-Sunnah menurut ahli fiqih.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaahu dalam Fathul Bari (10/341), “Telah tetap bahwa lafazh As-Sunnah yang ada di dalam hadits bukan bermakna lawan dari wajib.” Beliau juga berkata ketika menjelaskan hadits:
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فلَيْسَ مِنِّيْ
“Barang siapa yang membenci sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.” (Muttafaq ‘alaihi)“Yang dimaksud dengan lafazh Sunnah di sini adalah jalan atau cara, bukan lawan dari wajib.” (Lihat Fathul Bari 9/105).
Oleh karena itu, wajib bagi kaum muslimin memahami ini dengan benar, karena di sana ada sebagian orang yang memaknakan kata As-Sunnah secara mutlak, yaitu lawan dari wajib. Jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggal tidak berdosa. Sehingga mereka bermudah-mudahan meninggalkan As-Sunnah yang mustahab dan bahkan yang wajib. Allahul musta’an.
Kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur`an
Setelah kita mengetahui definisi As-Sunnah yang benar, maka perlu kita ketahui bagaimana kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur`an.
Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah menjelaskan dalam banyak ayat-Nya yang mulia, demikian pula Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskan tentang kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur`an. Di antaranya:
- As-Sunnah sebagai penjelas dan perinci Al-Qur`an
“Dan telah kami turunkan adz-Dzikr (Al-Qur`an) kepadamu agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang kami turunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)
Di dalam ayat ini Allah subhaanahu wa ta’aalaa menjelaskan bahwa As-Sunnah adalah penjelas dan pemerinci Al-Qur`an. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ إِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَ مِثلَهُ مَعَهُ
“Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan bersama itu yang
semisalnya (As-Sunnah).” (HR. Abu Dawud dan yang selain beliau dari
sahabat al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallaahu ‘anhu, dishahihkan Ibnu Hibban, al-Hakim dan asy-Syaikh al-Albani rahimahumullaahu)Al-Imam Ahmad rahimahullaahu berkata, “As-Sunnah adalah tafsir (penjelas, ed.) Al-Qur`an.” (Ushulus Sunnah lil Imam Ahmad hal. 16)
2. As-Sunnah adalah wahyu Allah subhaanahu wa ta’aalaa sebagaimana Al-Qur`an
Hanya saja Al-Qur`an adalah mukjizat dan membacanya telah termasuk ibadah, berbeda dengan As-Sunnah. Akan tetapi keduanya memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman (yang artinya):
“Dan tidaklah dia (Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ed.) berkata dari hawa nafsunya semata, melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (An-Najm: 3-4)
Seorang muslim tidak mungkin mencukupkan dirinya dengan Al-Qur`an saja, bahkan ia tidak bisa beramal dan beribadah dengan benar tanpa As-Sunnah. Karena As-Sunnah adalah penjelas atau pemerinci Al-Qur`an. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengerjakan shalat lima waktu dengan benar kalau ia tidak merujuk kepada As-Sunnah?! Karena hanya dalam As-Sunnah terdapat penjelasan dan rincian tentang tatacara shalat-shalat tersebut, baik dengan ucapan maupun amaliah atau praktik dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari sini kita memahami betapa mendesaknya kebutuhan kita kepada As-Sunnah, sampai-sampai al-Imam Makhul asy-Syami rahimahullaahu berkata, “Al-Qur`an lebih butuh kepada As-Sunnah daripada butuhnya As-Sunnah kepada Al-Qur`an.” (Al-Ibanah 1/253)
Ucapan beliau ini tidaklah bermakna bahwa As-Sunnah lebih tinggi kedudukannya daripada Al-Qur`an atau lebih mulia dari Al-Qur`an, akan tetapi makna ucapan beliau adalah, “Seorang muslim sangatlah butuh kepada As-Sunnah dalam mengamalkan Al-Qur`an.” Hal ini benar, karena mayoritas ahkam (hukum-hukum) dalam Al-Qur`an bersifat global sehingga sangat butuh penjabaran dan rincian dari As-Sunnah.
Selain As-Sunnah adalah wahyu Allah subhaanahu wa ta’aalaa yang kedudukannya sama dengan Al-Qur`an (datangnya dari Allah subhaanahu wa ta’aalaa) juga termasuk dari dua hal yang diwariskan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ، لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
“Aku telah meninggalkan kepada kalian dua hal, jika kalian berpegang
dengan keduanya pasti tidak akan tersesat, yaitu kitabullah (Al-Qur`an)
dan sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik dan al-Hakim)Maka wajib bagi seorang muslim yang benar imannya dan mendambakan kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat hendaklah menjadikan Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup. Serta senantiasa berpijak kepada keduanya dalam beramal.
Bahaya Menyelisihi As-Sunnah
Sungguh Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah memberikan peringatan atau ancaman keras bagi mereka yang meninggalkan As-Sunnah dengan sengaja. Di antaranya ialah firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa (yang artinya):
“Maka berhati-hatilah orang yang menyelisihi perintah Rasul (sunnahnya) untuk ditimpa fitnah atau adzab yang pedih.” (An-Nur: 63)
“Wahai orang-orang yang beriman ja-nganlah kalian mengangkat suara kalian dari suara Nabi, dan janganlah berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya suara sebagian kalian terhadap sebagian lainnya, supaya tidak terhapus amalan kalian sementara kalian tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 2)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullaahu berkata ketika menjelaskan ayat di atas, “Dalam ayat ini Allah subhaanahu wa ta’aalaa memperingatkan kaum muslimin dari terhapusnya amalan-amalan mereka disebabkan mengeraskan suara kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sebagian mereka mengeraskan suara kepada sebagian yang lain.” (Al-Wabilush Shoyyib 1/11, Ta’zhimus Sunnah hal. 22)
Pembaca yang dirahmati Allah subhaanahu wa ta’aalaa, kalaulah hanya sekedar mengeraskan suara kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka akan terhapus amalannya, maka bagaimana dengan meremehkan As-Sunnah beliau atau menentangnya? Tentu amatlah keras siksanya. Dan, perlu diingat bahwa orang yang meremehkan As-Sunnah serta meninggalkannya dengan sengaja karena sombong akan disegerakan adzabnya oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa di dunia sebelum di akhirat. Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullaahu dari sahabat Salamah bin al-Akwa` radhiyallaahu ‘anhu bahwa ada seseorang makan di dekat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya, maka Rasulullah menegurnya, “Makanlah dengan tangan kananmu,” namun ia menjawab (dengan kesombongan), “Aku tidak bisa.” Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kamu tidak akan bisa selamanya,” maka pada saat itu juga lelaki itu tidak bisa mengangkat kedua tangannya ke mulutnya. Hadits ini dan ayat sebelumnya, teguran keras bagi siapa saja yang meninggalkan As-Sunnah. Dan, seharusnya bagi kita untuk bersungguh-sungguh dalam mengamalkan As-Sunnah. Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu berkata (yang artinya):
“Tidaklah aku meninggalkan sesuatu yang diamalkan Rasulullah kecuali aku mengamalkannya, dan sungguh aku sangat khawatir (takut) jika aku meninggalkan sesuatu dari sunnahnya akan tersesat.” (Lihat Ta’zhimus Sunnah hal. 24)
Wallaahu a’lam.
Penulis: Al-Ustadz Abu Habib hafizhahullaahu